Berani Bermimpi Besar dalam Tuhan

Semua orang tentunya punya mimpi dan cita – cita. Tapi hanya segelintir orang yang sanggup menghidupkan mimpinya. Tanpa kita sadari, kebanyakan dari kita hanya terjebak dalam mimpi kita sendiri. Dan hanya suka berandai – andai. Tanpa ada tindakan nyata untuk meraih apa yang kita inginkan. Atau malah meragukan mimpi kita sendiri, dan bahkan takut untuk bermimpi. Semuanya hanya karena kita merasa tidak mampu.

Suatu waktu Ir. Soekarno pernah berkata "Gantungkanlah cita – citamu setinggi langit."

Sewaktu kita kecil, sepertinya kita lebih berani untuk bermimpi. Dengan penuh keyakinan kita bisa mengatakan bahwa kita ingin menjadi dokter, presiden, pilot atau bahkan astronot. Tapi ketika kita beranjak dewasa, dan seiring dengan semakin banyaknya pengetahuan yang kita peroleh, justru semakin banyak kekhawatiran yang membebani kita. Belum lagi kalau terbentur faktor ekonomi. Katanya sih, kita harus bisa lebih realistis. Sehingga kita mengesampingkan mimpi kita itu.

Apalagi di jaman yang dikatakan sebagai jaman yang sulit seperti sekarang, sudah untung bisa kerja dan punya penghasilan, yang berarti ada makanan di meja, pakaian untuk dipakai dan tagihan – tagihan yang terlunasi. Entah sejak kapan, mimpi itu hanyalah sekedar sampingan. Untung – untung bisa tercapai. Sadar ataupun tidak, kebanyakan dari kita berpikir seperti itu. Dulu, aku pun begitu.

Sampai kira – kira setahun yang lalu aku mengenal seseorang yang hidup dengan menjalankan mimpinya. Dia juga adalah seorang anak yang sangat mencintai Tuhan. Dan tidak takut untuk menyatakannya. Di tengah – tengah proyek yang mustahil untuk terwujud, apalagi berjalan dengan lancar, dia tetap percaya dan pantang mundur. Tidak perduli dengan banyaknya orang yang memandangnya sebelah mata dan mencemoohnya hanya karena dia masih anak bawang, belum berpengalaman, dan belum lulus kuliah. Dia tidak perduli dan tetap antusias walaupun entah sudah berapa banyak orang yang memintanya untuk mundur.

Kata – kata favoritnya waktu itu, "Justru semakin mustahil untuk dikerjakan, semakin besar kuasa Tuhan akan dinyatakan." Dan dalam sehari, entah berapa kali perkataan firman yang terlontar dari mulutnya. Tentu saja sebagai salah satu orang yang paling banyak terlibat dengannya dalam proyek ini, aku sering mendengarkan komentar-komentar tidak sedap dari teman – teman yang beraneka ragam latar belakangnya. Banyak yang menganggapnya absurd, dan tidak sedikit yang mengatainya gila. Tapi ternyata walaupun dia menyadari semua itu, dia tidak perduli. Dia hanya fokus pada tujuan yang ada di depannya.

Dia pernah mengatakan padaku, bahwa proyek ini adalah visi yang sudah ia doakan sebelumnya, dan dia tidak menyangka Tuhan akan membawanya ke tempat yang tepat dan menemukan suatu kesempatan untuk mewujudkannya. Di saat – saat itu pula dia sering menceritakan mimpinya. Ternyata dia memiliki suatu kerinduan yang besar. Mimpinya saat itu terdengar begitu mustahil. Dan dia masih belum tahu bagaimana caranya untuk mencapai visinya itu. Apalagi untuk mewujudkan semua itu butuh modal yang besar, sedangkan dia berasal dari keluarga yang bisa dibilang pas – pasan. Tapi dia menceritakan semuanya itu dengan penuh keyakinan, dan dengan satu tujuan pasti. Bahwa semua itu demi kemuliaan nama Tuhan.

Coba kita pikirkan, pernahkan kita memiliki suatu mimpi yang begitu tidak egois? Mimpi yang terlahir karena hati yang sungguh – sungguh mencintai Tuhan. Karena kita ingin Tuhan memakai hidup kita untuk memenuhi tujuan kemuliaan-Nya. Bukan mimpi yang terpusat pada diri kita sendiri. Dan bukan pula untuk kepuasan serta kebaikan kita sendiri. Lupakah kalau kita sudah diselamatkan oleh-Nya dan sudah semestinya menunjukkan rasa syukur kita? Kenapa kita tidak pernah berpikir bahwa kita dapat membalas cintaNya lewat impian kita?

Dia menyadarinya dan mempraktekkannya. Bukan hanya memikirkan, tapi juga memperkatakan dan menjalankan hidupnya berdasarkan Firman Tuhan. Seperti Abraham yang tetap percaya dan berharap walaupun ia hanya memiliki satu dasar untuk berharap, yaitu hanya kepada Tuhan, karena dari mata manusia tidak mungkin Abraham bisa mempunyai keturunan dari Sarah. Dan kini, jalan – jalannya mulai terlihat. Tuhan mewujudkan awal dari impiannya. Yaitu sekolah di luar negri. Walaupun tadinya hampir saja batal karena urusan administratif di sana, dan tidak ada yang bisa membantunya. Bahkan saat itu secara resmi pendaftaran sudah ditutup. Tapi ketika kita percaya dan Tuhan berkenan, pintu – pintu yang tadinya tertutup mulai terbuka satu per satu. Tuhan membawanya melewati satu kemustahilan ke kemustahilan lainnya. Tuhan bahkan memakai orang – orang yang tidak pernah disangkanya untuk membantu mengurus banyak hal di tempat tujuannya. Dan sebentar lagi dia akan terbang menggapai cita – citanya. Ternyata Tuhan benar – benar membela orang yang mengasihi-Nya dengan tulus. Dan pembelaan-Nya tidak pernah tanggung – tanggung.

Kapan kita akan tersadar bahwa Tuhan menciptakan kita untuk suatu tujuan? Yang pasti bukan hanya sekedar menjadi orang biasa – biasa saja dengan kehidupan yang biasa – biasa saja. Mimpi kita mungkin tidak realistis. Dan mungkin hanya mengundang tawa orang lain bila kita menceritakannya pada mereka. Tapi bukankah kita adalah anak – anak Tuhan? Kenapa kita harus takut? Bukankah Tuhan yang memegang semua kunci kehidupan kita? Dan pembelaan Tuhan ada pada kita?

Temanku itu pernah bertanya, “Apa panggilan hidupmu? Apa mimpimu? Apa visimu?”Karena ketika kita mengetahui apa pangggilan hidup kita, maka kita mengetahui di mana Tuhan akan menempatkan kita. Dan di sanalah kita akan mengaktifkan fungsi kita sebagai alat kemuliaan Tuhan.

Kalau karena suatu hal mimpi itu pernah terlepas dari genggaman kita, jangan pernah takut untuk menemukannya lagi. Mungkin tidak harus impian yang sama, tapi milikilah sebuah visi yang besar untuk kemulian-Nya. Temanku juga pernah berkata, kalau kau bingung dan merasa tidak memiliki visi apa – apa, berdoa dan mendekatlah supaya Tuhan menaruhnya di dalam hatimu. Miliki sikap hati yang benar, tulus, dan rendah hati di hadapanNya, dan Tuhan akan bekerja melalui hidupmu. Amin.

~ Testimony by V.L ~

6 komentar: