Apakah boleh BER-PACAR-AN

Menurut kamus bahasa Indonesia, berpacaran dari kata PACAR yang artinya teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih; kekasih.
Kalau gitu kenapa tidak boleh punya pacar ? Bukankah Cinta Kasih itu baik ?
Selama Kasih itu dari Cinta yang BENAR tentu baik hubungan pacaran yang dibangun. Tapi kalau sebaliknya maka hasilnya tentu tidak baik dan tidak perlu dilakukan.

Apa itu Cinta yang BENAR dan Apa itu Cinta yang TIDAK BENAR ?

Cinta yang BENAR adalah Cinta yang menghendaki yang terbaik bagi pasangannya sekalipun harus mengorbankan diri sendiri, sedangkan

Cinta yang TIDAK BENAR adalah Cinta yang menghendaki yang terbaik bagi dirinya sendiri sekalipun harus mengorbankan orang lain termasuk pasangannya.

Tapi bagaimana cara membedakan aku punya Cinta yang BENAR atau TIDAK ?

Satu-satunya cara adalah dengan memeriksa diri apakah keinginan untuk berpacaran adalah keinginan pacaran seperti salah satu atau lebih dari gejala pacaran di bawah ini .

1. Pacaran yang menyingkirkan makna persahabatan dalam suatu hubungan

C.S. Lewis menjelaskan bahwa persahabatan adalah seperti dua orang yang berjalan berdampingan menuju suatu sasaran yang sama. Kepentingan yang sama membuat mereka bersama-sama. Pacaran seperti ini memiliki dasar pemikiran dalam bangun hubungan “saya tertarik kepadamu; oleh sebab itu, mari kita lebih saling mengenal”. Sebaliknya, dasar pemikiran persahabatan adalah, “Kita memiliki minat yang sama; jadi marilah kita menikmati kesamaan minat kita bersama-sama.” Jika daya tarik romantis terbentuk setelah mengembangkan suatu persahabatan, itu adalah bonus tambahan.

Keintiman tanpa komitmen adalah sesuatu yang memperdayakan. Komitmen terbentuk proses persahabatan. Keintiman tanpa persahabatan adalah sesuatu yang dangkal.
Suatu hubungan yang hanya didasarkan pada daya tarik fisik dan perasaan romantis hanya akan bertahan selama perasaan itu ada.

2. Pacaran yang cenderung menyamakan arti cinta dengan sentuhan fisik

Pacaran jenis ini menjadi korban arus budaya saat ini yang menganggap bahwa “LOVE = SEX”. Inilah tahapan pacaran jenis ini sebagai bukti dari pengaruh budaya tersebut.

Pacaran yang dilakukan bukan dengan tujuan untuk saling berkomitmen ( HTS = Hubungan Tanpa Status & TTM = Teman Tapi Mesra ) biasanya dimulai dengan daya tarik fisik atau non fisik (baik, perhatian, peduli dan sejenisnya). Sikap yang mendasari hubungan pacaran ini berasal dari penampilannya.

Selanjutnya, hubungan ini seringkali mengarah pada keintiman ( mis: saling curhat ). Karena pacaran jenis ini tidak menuntut komitmen, maka kedua insan ini terlihat membiarkan kebutuhan-kebutuhan dan gairah-gairah yang muncul di saat itu mengambil peran utama. Pasangan ini tidak saling memandang satu dengan yang lain sebagai calon pasangan hidup atau mempertimbangkan tanggung jawab untuk menikah. Sebaliknya, mereka memfokuskan diri pada tuntutan pada gairah yang muncul saat itu. Dan cara berpikir seperti itu, hubungan fisik pasangan ini dengan mudah akan jadi tujuan utama.

Keintiman fisik seolah-olah bisa membuat dua insan merasa dekat. Padahal sesungguhnya kedekatan mereka hanyalah karena menemukan adanya kesamaan kebutuhan yang mereka miliki saat itu, yaitu hawa nafsu, dan itu adalah DOSA.

3. Pacaran yang cenderung mengisolasi pasangan dari hubungan penting lainnya

Pacaran jenis ini mendorong dua insan saling memfokuskan diri satu dengan yang lain dan orang-orang lain di dalam dunia hanyalah sekedar latar belakang saja, padahal Amsal 15:22 jelas menuliskan “Rancangan gagal kalau tidak ada pertimbangan, tetapi terlaksana kalau penasihat banyak.” Menjadikan orang-orang lain hanya sekedar latar belakang artinya ruang untuk penasihat sudah ditutup. Jika kita membuat komitmen mengenai kehidupan hanya berdasarkan pengaruh dari satu hubungan, sangat besar kemungkinan kita akan membuat penilaian yang keliru.

Ketidakpedulian untuk mendefinisikan komitmen dalam hubungan pacaran akan langsung menyemplungkan diri ke dalam situasi yang bahaya.

Dalam Passion and Purity Elisabeth Elliot menyatakan, “Jika seorang pria tidak siap meminta seorang wanita untuk menjadi istrinya, apa haknya untuk menuntut perhatian khusus dari wanita itu ? Jika seorang wanita tidak diminta untuk menjadi istri seorang pria, mengapa wanita yang berpikiran sehat mau menjanjikan perhatian khusus kepada pria itu ?” Hiii…ngeri kan, kalau saat kita bubar-an dengan doi, eh..,ternyata kita baru sadar bahwa hubungan kita dengan teman-teman yang lain jadi rusak selama ini.

4. Pacaran yang cenderung mengalihkan perhatian dari tanggung jawab utama untuk mempersiapkan masa depan

Perhatian yang begitu besar dari pacaran jenis ini terhadap ‘CINTA’ (kenikmatan dalam keintiman) biasanya membuat kedua insan dengan mudahnya mengabaikan kewajiban-kewajiban di masa kini baik dalam hal pekerjaan maupun dalam tanggung jawab di keluarga dan pelayanan. Berbagai teguran, nasihat bahkan cemoohan baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi biasanya membayangi hubungan pacaran jenis ini karena hilangnya keteladanan yang selama ini telah dibangunnya.

5. Pacaran yang mengurangi rasa syukur dengan masa single yang dijalani

Allah memberikan kepada kita masa single – satu masa yang tak tertandingi di dalam kehidupan kita dalam banyak kesempatan untuk bertumbuh, belajar, dan melayani – dan seringkali dipandang sebagai suatu kesempatan untuk berhenti dari semuanya itu demi menemukan dan memelihara hubungan dengan pacar-pacar kita. Keindahan yang sesungguhnya dari masa single tidak dapat kita dapatkan dengan cara mengejar kisah cinta dengan orang yang kita inginkan. Kita menemukan keindahan sesungguhnya dengan cara menggunakan kebebasan kita untuk melayani Allah dengan bebas.

Pacaran jenis ini tidak akan membuat orang menikmati masa single yang indah, melainkan justru menyebabkan orang memfokuskan diri pada apa yang tidak mereka miliki.

6. Pacaran yang membuat tidak dapat menilai pasangan dengan wajar

Single yang sungguh-sungguh ingin mencari tahu apakah si doi adalah calon pasangan hidup yang tepat, harus kudu hati-hati deh dengan pacaran yang jenis ini, soalnya pasti rencana jadi gagal. Mengapa ? Sebab secara disadari atau tidak pacaran jenis ini akan menciptakan suatu dunia mimpi bagi dua insan yang sedang bermadu kasih. Akibatnya tentu yang dinilai dari si doi adalah sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan yang bukan sebenarnya.

7. Pacaran yang menjadi tujuan dari semua hubungan yang dibangun

Ini adalah alasan dari pacaran jenis ini yang akan menjadi titik akhir dari hubungan yang dibangun selama ini. Karena rasa bahagia karena keintiman yang dibangun itu disebabkan oleh pengaruh hormon neutrophin dan hormon ini jumlahnya hanya terbatas. Seharusnya setelah hormone ini habis digantikan dengan hormon lain yang diproduksi seiring dengan komitmen yang dibangun dalam pernikahan.

Pacaran jenis ini hanya bertujuan menikmati sampai puas rasa bahagia dari hormon neutrophin, akibatnya jika hormon ini sudah habis padahal tidak ada rencana untuk komitmen masuk dalam pernikahan. Maka akan berakhirlah hubungan pacaran ini karena sudah tidak ada chemistry-nya lagi.

Tapi bagaimana caranya supaya bisa berpacaran dengan benar ?

Sabar dan nantikan artikel lanjutannya.

(disadur dari buku “I Kissed Dating Goodbye”, Joshua Harris, Immanuel 2006)

Sumber

Delapan Titik Kemenangan Sejati

“Lebih dari pemenang dalam segala perkara”. Demikianlah sepenggal dari lirik lagu yang mungkin kita semua tahu. Tapi apakah kita sudah benar – benar menang dalam segala perkara? Dalam hal apa saja kita harus menang? Kali ini akan dibahas bagaimana cara agar menjadi pemenang sejati melalui delapan titik kemenangan sejati.

1. Victory In Mindset

2 Korintus 10:5, “Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus”.

Telah bertahun-tahun saya menyelidiki kekuatan pola pikir kita. Dari ratusan referensi dan diskusi, saya menyimpulkan satu hal saja. Bahwa saya dan Anda semua sangatlah penting menguasai cara kita berpikir, mempersepsikan segala sesuatu, hati-hati dengan imajinasi kita. Kuasailah pula logika kita agar tidak melawan kuasa Tuhan. Karena apa yang kita pikirkan, suatu kali akan menjadi kenyataan (Amsal 23:7). Menaklukkan imajinasi dan logika kita, adalah peperangan yang harus dilakukan setiap hari, bahkan setiap saat. Pikiran kita adalah Rumah Tuhan (Ibrani 8:10). Karena itu kita pasti menang dan mampu memiliki pikiran seperti Kristus. Yakinlah, cobalah, alamillah kemenangan dipikiran kita setiap hari.

2. Victory In Emotion

Amsal 16:32, “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota”.

Pernah ada survey yang menyatakan minimal 17 persen dari kita adalah emosional. Saya perlu mengakui, bahwa saya adalah orang yang emosional juga. Lalu bagaima agar menang dari emosi kita.

Ada 2 hal saja. Pertama, akuilah pada sahabat kita, bahwa kita orang yang emosional, ceritakan apa saja mengenai perasaan kita. Dan mintalah dia menerima apa adanya perasaan kita. Mintalah sahabat kita mendoakan kita. Kedua, lakukan aktifitas fisik yang baik, jangan berdiam diri saja. Alihkan fokus kita kepada pikiran yang benar, bahwa kita mampu menguasai emosi kita. Lakukan yang bermanfaat. Berpikirlah yang benar, yang indah dan membangun. Lalu bertindaklah dengan aktifitas yang positif. Upah atas kemenangan emosi, telah disediakan Tuhan untuk kita.

3. Victory In Willingness

Filipi 2:13, “Karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan- Nya”.

Tuhan telah memberikan 'free will' sebagai salah satu tanda keserupaan kita dengan Tuhan. Tetapi kemauan bebas bisa jadi sumber masalah, jika dipergunakan untuk kepuasan 'ego' kita. Penyerahan 'hak' adalah cara yang paling ampuh untuk menang atas kemauan kita. Rasanya sakit memang. Tapi hasilnya indah pasti. Saya sering berperang dengan kemauan saya yang antusias. Seringkali saya berhenti sejenak untuk menguji motivasi kemauan saya. Dengan 2 pertanyaan ini, mengapa aku mau melakukan ini. Untuk apakah aku melakukannya. Apakah aku menyenangkan hati Tuhan dengan kemauanku ini? Tidak mudah memang, tapi pasti bisa menang. Kemenangan dikemauan adalah kekuatan untuk melakukan Kehendak Tuhan.

4. Victory In Speak

Pengkotbah 2:5, “Janganlah terburu- buru dengan mulutmu, dan janganlah hatimu lekas- lekas mengeluarkan perkataan di hadapan Allah, karena Allah ada di sorga dan engkau di bumi; oleh sebab itu, biarlah perkataanmu sedikit”.

'Bicara itu gratis!'. Tapi tidak semua perkataan kita membangun dan berguna. Kemenangan atas perkataan adalah mememutuskan untuk memilih kata kata yang membangun orang lain. Memuji dengan apresiasi. Memotivasi dengan kasih. Saya pernah gagal dalam perkataan. Saya menuai dengan tangisan. Saya mulai belajar mengendalikan lidah saya. Agar tidak liar. Saya sering menahan perkataan sampai pada momen yang tepat. Saya sengaja memilih kata-kata yang benar, menguatkan dan memulihkan.

Latihan setiap saat diperlukan. Dengan hal-hal sederhana, misal sering berkata 'terimakasih', 'maaf' dan 'tolong'. Menjaga mulut saya dari 'gosip' telah menolong banyak orang menjadi lebih baik. Seringkali saya hanya tersenyum. Diam. Dan saya memenangkan perkataan saya dengan berkata 'no comment'. Atau 'saya akan doa dulu ya'.

5. Victory In Behaviour

Kolose 3:23, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia”.

Ini adalah prinsip hidup saya sekeluarga. Benar, kami melakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan. Putra saya baru memulai bisnisnya. Dan dia bersaksi bahwa dia seperti tidak bekerja sendiri. Karena ada kuasa Tuhan yang ikut bekerja untuk mendatangkan kebaikan. Kemenangan saya atas perilaku adalah dengan cara 'Right Response'. Saat orang lain tidak benar saya mau berespon benar. Juga pada situasi yang tidak benar, saya tetap mau berespon benar. Dan hasilnya adalah luar biasa. Kemenangan sejati seperti Kristus menang.

6. Victory In Habit

Efesus 3:20, “Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita”.

Kebiasaan adalah topik yang sekarang hangat dianalisa dan diajarkan sebagai cara effektif untuk perubahan nasib kita. Tetapi apakah mudah membangun sebuah kebiasaan baru yang baik? Sejarah Perjanjian Lama membuktikan bahwa tanpa 'kasih karunia' tidaklah mungkin orang merubah sebuah kebiasaan. Kebiasaan adalah 'nilai-nilai' yang kita percayai. Jadi kalau ingin menang dari kebiasaan buruk. Kita mesti punya 'nilai-nilai' yang baik dan hidup bersama komunitas yang memiliki 'nilai-nilai' yang baik pula. Kemenangan atas kebiasaan adalah menghampiri kasih karunia Tuhan, tidak malah menjauhinya jika kita gagal. Renungkanlah hal ini. Lari mendekat pada 'kasih karunia' adalah awal sebuah kemenangan atas kebiasaan.

7. Victory In Faith

Ibrani 11:6, “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia”.

Iman tanpa perbuatan adalah mati. Kita sudah tahu hal itu. Tetapi perbuatan seperti apa yang membuat iman kita menang? Saya tidak selalu menang dalam iman. Saya meminta iman kepada Tuhan, ketika saya putus asa.

Saya bersaksi, bahwa Iman tidak boleh menuntut dengan cara kita. Kemenangan iman dimulai ketika saya mampu bersyukur dan mensyukuri setiap siuasi yang saya hadapi. Sambil tetap percaya, bahwa Kristus adalah garansi pemenuhan janji Tuhan yang saya dengar dan percayai. Saya selalu mengucapkan dgn suara, agar telinga saya mendengar 'pernyataan iman' saya sendiri. Saat itu iman saya bertumbuh. Kemenangan atas iman selalu diuji oleh waktu. Bukan menunggu pemenuhan, tetapi saya percaya sudah menerimanya. Saya serahkan waktu dan caranya kepada kedaulatan Tuhan sendiri.

8. Victory In Purpose Of Life

Galatia 2:20, “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku”.

Saya menguji diri saya dengan 10 pertanyaan seperti ini:

1. Untuk apa Tuhan menciptakan saya?

2. Apakah ada tugas khusus buat saya?

3. Apakah yang bisa saya lakukan agar Tuhan senang?

4. Dimanakah saya ditempatkan Tuhan?

5. Apakah buah-buah hidup saya?

6. Kemanakah arah hidup saya?

7. Apakah talenta bakat saya?

8. Apakah nilai-nilai hidup saya?

9. Bagaimana cara saya bisa maksimal?

10. Apa yang saya inginkan terjadi diakhir hidup nanti?

Dan ketika saya telah menjawabnya. Tiba-tiba, saya merasakan telah menemukan arti sesungguhnya dari sebuah kemenangan yang sejati! Kemenangan yang telah dialami oleh Kristus. Itu yang sedang saya alami sekarang ini. Bagaimana dengan Anda?


Sumber

Palestina Pasca Perang Salib

Biasanya, Perang Salib dibagi menjadi delapan periode, yaitu :

1. Periode 1095-1101;

2. Periode 1145-1147;

3. Periode 1188-1192;

4. Periode 1204;

5. Periode 1217;

6. Periode 1239;

7. Periode 1249-1252;

8. Periode 1270.

Pada dasarnya Perang Salib adalah kebijakan politik Gereja Katolik, khususnya para Paus yang selama periode itu lebih berkuasa daripada raja-raja yang ada di bangsa-bangsa Eropa. Terjadinya Reformasi yang dipimpin oleh Martin Luther mulai tahun 1517 telah membawa perubahan besar dalam pandangan dunia Kristen terhadap peranan agama Kristen dalam perang dan penginjilan. Karena terjadi Reformasi yang dipimpin Martin Luther pada tahun 1517, maka rencana Paus Leo X untuk mengadakan Perang Salib baru pada tahun tersebut agar supaya merebut kembali kota Konstantinopel (Istambul) batal. Konstantinopel telah direbut Islam pada tahun 1453 oleh Ottoman Sultan Mehmed II. Para pemimpin Reformasi, Gerakan Protestan yang dipimpin Luther menyatakan bahwa Perang Salib adalah dosa, karena Tuhan telah memakai orang-orang Turki untuk menghukum dunia Kristen Katolik, karena dosa-dosanya sangat banyak. Sebetulnya, di wilayah Palestina, laskar-laskar Salib diusir secara total pada tahun 1291, ketika mereka diusir dari kota Acre. Setelah itu, wilayah Palestina memasuki “masa kegelapan” karena pemerintahan dengan kekerasan oleh Kerajaan Mamluk dari Mesir ditambah beberapa pandemi penyakit.

Masa Ayyubid – Mamluk

Pada tahun 1187, Salah al-Din (Saladin) telah menetapkan kembali pemerintahan Abbasid atas Fatimid Misir dan menaklukkan kota Yerusalem. Selama 700 tahun berikut, Yerusalem dikuasai oleh pemerintahan Islam (Abbuyid dan Ottoman). Walau Salah al-Din berkemurahan atas masyarakat yang tidak berperang dan memelihara semua tempat ibadah, tapi ia berusaha untuk menghapuskan semua tanda hadirnya para laskar Perang Salib. Bangunan-bangunan yang dianggap milik Islam dan telah dipakai sebagai Gereja, seperti Mesjid Dome of the Rock, dikembalikan untuk dipakai sebagai mesjid lagi dan sejumlah besar bangunan pemerintahan Kristen dijadikan bangunan Islam (Idinopulos, Thomas A.; Jerusalem Blessed, Jerusalem Cursed; Ivan R. Dee: Chicago; 1991; hal. 250-251).

Akibat buruk dari Perang Salib adalah merosotnya posisi masyarakat Kristiani di Tanah Suci. Dulu, sejak tentara Islam masuk ke Palestina dari pertengahan abad ke-7, umat Kristiani sebagai minoritas diberi hak dan hormat di bawah pemerintahan Islam. Setelah Pemerintahan Perang Salib, atau Kerajaan Gereja Katolik berkuasa, maka hak-hak mereka malah berkurang. Karena ancaman Perang Salib Ketiga, Salah al-Din dan para penerusnya membangun kembali tembok-tembok Yerusalem. Namun, baru selesai dibangun pada tahun 1219, keponakan Salah al-Din, al-Malik al Mu’azzam ‘Isa, memberi perintah untuk membongkar kembali semuanya. Setelah itu, banyak penduduk yang meninggalkan kota Yerusalem, karena dianggap tidak aman dan mustahil dilindungi dari serangan. Hanya setelah 320 tahun berlalu, pada zaman Ottoman, tembok-tembok kota diperbaiki kembali. Selama masa singkat, pemerintahan Kaisar Hohenstaufen, Frederick II (1229-1244), yang tidak efektif sehingga terjadi pengungsian massal lagi dari kota Yerusalem. Serangan Khawarism Turki membantai 7000 penduduk Kristen yang diam di Yerusalem, kecuali 300 penduduk yang telah melarikan diri ke Yoppa.

Pada tahun 1260 tentara Mamluk, laskar budak Turki yang telah menjadi tentara elit kalahkan oleh semua sarangan dari laskar Salib dan dari tentara Mongol di Perang Ein Jalut di Lembah Yizreel. Setelah itu, Yerusalem hampir-hampir tidak berpenduduk lagi. Tetapi, setelah Kesultanan Mamluk menegakkan kembali hukum dan tata tertib kota, sebagian kecil masyarakat kembali lagi ke kota Yerusalem dan merasa aman walau temboknya belum dibangun kembali. Namun, pemerintahan tidak mengembangkan ekonomi kota atau berbuat banyak agar menarik lebih banyak penduduk untuk kembali. Menjelang kedatangan Kerajaan Ottoman, di Yerusalem tercatat ada 44 madrasah. Hal ini menunjukkan adanya sedikit peningkatan dalam sarana pendidikan, walaupun pendidikan berdasarkan agama Islam.

Pada tahun 1275, Marco Polo sempat singgah di Yerusalem dalam perjalanannya ke China. Ia menjelaskan bahwa kota itu sangat kecil dengan sedikit saja penduduknya. Pada tahun 1348, Maut Hitam mulai melanda Yerusalem dan lebih dari 50% penduduk meninggal atau meninggalkan Yerusalem. Lalu, pada tahun 1438 dicatat bahwa Rabbi Obadiah dari Bertinoro, Italia, datang ke Yerusalem untuk memberi bimbingan kepada masyarakat Yahudi yang masih bertahan di kawasan Yerusalem. Pada akhir zaman Mamluk, ternyata Yerusalem begitu hancur sehingga jumlah total penduduknya hanya kira-kira 4000 jiwa. Bukan lagi kota malah hanya bersifat desa saja.

Orang Yahudi bertahan di Palestina 1097-1518

Para Laskar Salib membenci kaum Yahudi karena mereka dituduh sebagai bangsa yang terlaknat dengan membunuh Yesus. Pada abad ke-11 Laskar Salib sama sekali tidak berkemurahan atas masyarakat Yahudi dan berusaha melenyapkan mereka dengan semua tanda tradisi dari Israel, namun tidak berhasil. Pada tahun 1165, Benjamin dari Tudela, seorang musafir Spanyol menemukan bahwa "Akademi Yerusalem" telah didirikan di Damascus, Suria. Walau tentara Laskar Salib hampir saja "melenyapkan" masyarakat Yahudi dari Yerusalem, Acre, Kaisaria dan Haifa, tapi tetap saja ada orang-orang Yahudi yang tidak mau berangkat, termasuk kawasan Galilea dan beberapa lagi perkampungan Yahudi ternyata mampu bertahan. Kota Acre telah menjadi pusat pendidikan Yahudi di Palestina pada abad ke-13. Sebagiannya beragama Kristen walaupun mayoritas beragama Yahudi dan hidup damai bersama masyarakat Muslim. Dengan keadaan yang lebih aman selama abad ke-12 dan abad ke-13, makin banyak orang Yahudi mulai kembali ke Israel dari pengungsiannya di Afrika Utara dan dari wilayah Islam di Semenanjung Arabia (Parkes, Whose Land?, hal. 97-110).

Masyarakat Yahudi dari Gaza, Ramle dan Safed dianggap "pemandu ideal" di Tanah Suci pada abad ke-14, kata Jacques dari Verona, seorang pastor yang berziarah ke Palestina. Dia mencatat bahwa ada "masyarakat Yahudi yang sudah lama tinggal di kaki Bukit Sion, di Yerusalem". Pastor itu berkata, “seorang peziarah yang ingin melihat kota-kota tua di Tanah Suci tidak akan dapat menemukannya tanpa pemandu yang baik, yang mengenal tempat-tempat dan sejarahnya dengan teliti karena pengetahuannya diturunkan kepadanya turun-temurun. Jadi, tiap kali saya ke sana saya dapat minta dan memperolah pemandu yang sangat baik dari kalangan Yahudi.” (Martin Gilbert, Exile and Return, The Struggle for a Jewish Homeland (Philadelphia and New York, 1978), hal. 17.)

Banyak orang Yahudi yang kembali dari pengungsian semakin bertambah dan mereka tidak pernah lagi meninggalkan Palestina. Pada tahun 1486, jumlah orang Yahudi semakin bertambah banyak. Itulah pengamatan Wakil Pastor Katedral Mainz, Jerman, Bernhard von Breidenbach. Setelah penganiayaan Gereja Katolik di Spanyol atas orang Yahudi dan Kristen Protestan pada 1518, maka semakin banyak orang Yahudi kembali ke Palestina dan dapat hidup relatif aman di bawah pemerintahan Ottoman.

Gaza 1481

Sejarah telah mencatat bahwa Kota Gaza adalah kota makmur dalam masa pemerintahan Mameluk. Pada tahun 1481, Meshulam dari Volterra, peziarah Yahudi menemukan bahwa ada 60 keluarga Yahudi yang telah tinggal di Kota Gaza di bawah pelindungan pemerintah Mamluk.

Apakah Penduduk Mayoritas Palestina bangsa Arab?

Setelah tentara Islam mengalahkan Kerajaan Roma dan mulai berkuasa di kota Yerusalem pada tahun 638, maka terjadilah migrasi penduduk Arab dari Semenanjung Arabia ke berbagai negara di Afrika Utara, Mesir, wilayah Palestina, Suria dan Iraq. Ini adalah masa kejayaan Islam. Tentaranya mampu dengan semangat juang yang tinggi dan para ilmuwan Islam telah berkembang pesat dan menjadi terkenal. Buah pemerintahan dari seluruh wilayah Khilafah Islam menarik penduduknya untuk merantau dan memakan hasil kemenangannya di berbagai daerah. Hal ini makin nyata dalam pembahasan berikut tentang Khilafah Ottoman 1517-1917, dan menjadi periode yang sangat berpengaruh atas latar belakang situasi Timur Tengah di masa kini, yang kian hari kian berbahaya. Oleh sebab itu, janganlah kita bodoh terhadap sejarah, karena sejarah masa lampau merupakan kunci untuk memahami masa kini dan arah perjuangan yang semakin nyata.

Artikel ini merupakan sambungan dari Israel di Zaman Perang Salib (1095 - 1291 M)

Bersambung ke Masa Khilafah Ottoman di Wilayah Palestina (1517-1917)

Sumber

Berani Bermimpi Besar dalam Tuhan

Semua orang tentunya punya mimpi dan cita – cita. Tapi hanya segelintir orang yang sanggup menghidupkan mimpinya. Tanpa kita sadari, kebanyakan dari kita hanya terjebak dalam mimpi kita sendiri. Dan hanya suka berandai – andai. Tanpa ada tindakan nyata untuk meraih apa yang kita inginkan. Atau malah meragukan mimpi kita sendiri, dan bahkan takut untuk bermimpi. Semuanya hanya karena kita merasa tidak mampu.

Suatu waktu Ir. Soekarno pernah berkata "Gantungkanlah cita – citamu setinggi langit."

Sewaktu kita kecil, sepertinya kita lebih berani untuk bermimpi. Dengan penuh keyakinan kita bisa mengatakan bahwa kita ingin menjadi dokter, presiden, pilot atau bahkan astronot. Tapi ketika kita beranjak dewasa, dan seiring dengan semakin banyaknya pengetahuan yang kita peroleh, justru semakin banyak kekhawatiran yang membebani kita. Belum lagi kalau terbentur faktor ekonomi. Katanya sih, kita harus bisa lebih realistis. Sehingga kita mengesampingkan mimpi kita itu.

Apalagi di jaman yang dikatakan sebagai jaman yang sulit seperti sekarang, sudah untung bisa kerja dan punya penghasilan, yang berarti ada makanan di meja, pakaian untuk dipakai dan tagihan – tagihan yang terlunasi. Entah sejak kapan, mimpi itu hanyalah sekedar sampingan. Untung – untung bisa tercapai. Sadar ataupun tidak, kebanyakan dari kita berpikir seperti itu. Dulu, aku pun begitu.

Sampai kira – kira setahun yang lalu aku mengenal seseorang yang hidup dengan menjalankan mimpinya. Dia juga adalah seorang anak yang sangat mencintai Tuhan. Dan tidak takut untuk menyatakannya. Di tengah – tengah proyek yang mustahil untuk terwujud, apalagi berjalan dengan lancar, dia tetap percaya dan pantang mundur. Tidak perduli dengan banyaknya orang yang memandangnya sebelah mata dan mencemoohnya hanya karena dia masih anak bawang, belum berpengalaman, dan belum lulus kuliah. Dia tidak perduli dan tetap antusias walaupun entah sudah berapa banyak orang yang memintanya untuk mundur.

Kata – kata favoritnya waktu itu, "Justru semakin mustahil untuk dikerjakan, semakin besar kuasa Tuhan akan dinyatakan." Dan dalam sehari, entah berapa kali perkataan firman yang terlontar dari mulutnya. Tentu saja sebagai salah satu orang yang paling banyak terlibat dengannya dalam proyek ini, aku sering mendengarkan komentar-komentar tidak sedap dari teman – teman yang beraneka ragam latar belakangnya. Banyak yang menganggapnya absurd, dan tidak sedikit yang mengatainya gila. Tapi ternyata walaupun dia menyadari semua itu, dia tidak perduli. Dia hanya fokus pada tujuan yang ada di depannya.

Dia pernah mengatakan padaku, bahwa proyek ini adalah visi yang sudah ia doakan sebelumnya, dan dia tidak menyangka Tuhan akan membawanya ke tempat yang tepat dan menemukan suatu kesempatan untuk mewujudkannya. Di saat – saat itu pula dia sering menceritakan mimpinya. Ternyata dia memiliki suatu kerinduan yang besar. Mimpinya saat itu terdengar begitu mustahil. Dan dia masih belum tahu bagaimana caranya untuk mencapai visinya itu. Apalagi untuk mewujudkan semua itu butuh modal yang besar, sedangkan dia berasal dari keluarga yang bisa dibilang pas – pasan. Tapi dia menceritakan semuanya itu dengan penuh keyakinan, dan dengan satu tujuan pasti. Bahwa semua itu demi kemuliaan nama Tuhan.

Coba kita pikirkan, pernahkan kita memiliki suatu mimpi yang begitu tidak egois? Mimpi yang terlahir karena hati yang sungguh – sungguh mencintai Tuhan. Karena kita ingin Tuhan memakai hidup kita untuk memenuhi tujuan kemuliaan-Nya. Bukan mimpi yang terpusat pada diri kita sendiri. Dan bukan pula untuk kepuasan serta kebaikan kita sendiri. Lupakah kalau kita sudah diselamatkan oleh-Nya dan sudah semestinya menunjukkan rasa syukur kita? Kenapa kita tidak pernah berpikir bahwa kita dapat membalas cintaNya lewat impian kita?

Dia menyadarinya dan mempraktekkannya. Bukan hanya memikirkan, tapi juga memperkatakan dan menjalankan hidupnya berdasarkan Firman Tuhan. Seperti Abraham yang tetap percaya dan berharap walaupun ia hanya memiliki satu dasar untuk berharap, yaitu hanya kepada Tuhan, karena dari mata manusia tidak mungkin Abraham bisa mempunyai keturunan dari Sarah. Dan kini, jalan – jalannya mulai terlihat. Tuhan mewujudkan awal dari impiannya. Yaitu sekolah di luar negri. Walaupun tadinya hampir saja batal karena urusan administratif di sana, dan tidak ada yang bisa membantunya. Bahkan saat itu secara resmi pendaftaran sudah ditutup. Tapi ketika kita percaya dan Tuhan berkenan, pintu – pintu yang tadinya tertutup mulai terbuka satu per satu. Tuhan membawanya melewati satu kemustahilan ke kemustahilan lainnya. Tuhan bahkan memakai orang – orang yang tidak pernah disangkanya untuk membantu mengurus banyak hal di tempat tujuannya. Dan sebentar lagi dia akan terbang menggapai cita – citanya. Ternyata Tuhan benar – benar membela orang yang mengasihi-Nya dengan tulus. Dan pembelaan-Nya tidak pernah tanggung – tanggung.

Kapan kita akan tersadar bahwa Tuhan menciptakan kita untuk suatu tujuan? Yang pasti bukan hanya sekedar menjadi orang biasa – biasa saja dengan kehidupan yang biasa – biasa saja. Mimpi kita mungkin tidak realistis. Dan mungkin hanya mengundang tawa orang lain bila kita menceritakannya pada mereka. Tapi bukankah kita adalah anak – anak Tuhan? Kenapa kita harus takut? Bukankah Tuhan yang memegang semua kunci kehidupan kita? Dan pembelaan Tuhan ada pada kita?

Temanku itu pernah bertanya, “Apa panggilan hidupmu? Apa mimpimu? Apa visimu?”Karena ketika kita mengetahui apa pangggilan hidup kita, maka kita mengetahui di mana Tuhan akan menempatkan kita. Dan di sanalah kita akan mengaktifkan fungsi kita sebagai alat kemuliaan Tuhan.

Kalau karena suatu hal mimpi itu pernah terlepas dari genggaman kita, jangan pernah takut untuk menemukannya lagi. Mungkin tidak harus impian yang sama, tapi milikilah sebuah visi yang besar untuk kemulian-Nya. Temanku juga pernah berkata, kalau kau bingung dan merasa tidak memiliki visi apa – apa, berdoa dan mendekatlah supaya Tuhan menaruhnya di dalam hatimu. Miliki sikap hati yang benar, tulus, dan rendah hati di hadapanNya, dan Tuhan akan bekerja melalui hidupmu. Amin.

~ Testimony by V.L ~