Ini merupakan kesaksian dari saudara seiman kita yang telah mengalami sendiri pacaran beda iman dan bagaimana dia bisa mengambil keputusan untuk bisa lepas dari pacarnya. Sebelum membaca ini, ada baiknya membaca Pacaran Beda Agama Menurut Alkitab terlebih dahulu. Semoga kesaksian ini dapat memberkati kita semua.
3 tahun lalu, saya duduk di bangku akhir sekolah menengah pertama, kelas 9. Mungkin bagi sebagian orang, umur sekian sudah pernah merasakan hal bernama cinta monyet. Demikian juga saya. Saat itu, saya menaruh kasih pada seorang laki laki yang menurut saya tampan. Laki - laki tersebut memiliki kepercayaan yang serupa dengan kita, baik, dan cukup pintar.
Saya bercerita pada teman teman saya soal perasaan saya terhadap laki - laki itu. Singkat cerita, kabar saya menyukai laki - laki itu sampai ke telinganya. Dan saya sangat ingat kata kata lelaki itu setelah mendengar saya menyukainya
Mana mau gue sama cewe jelek kayak gitu, najis!
Saya memang bukan perempuan berfisik sempurna. Bahkan bisa dikatakan tidak menarik. Saya bertubuh gemuk dengan rambut acak - acakan dan kulit hitam. Penolakan tersebut begitu menyakiti saya. Apakah saya sangat jelek? Sehina itukah saya? Sakit hati saya makin menjadi kala beberapa waktu kemudian, laki - laki itu menjalin hubungan dengan perempuan yang lebih menarik, namun tidak seiman. Mulai saat itu, saya menganggap semua laki - laki hanya melihat fisik. Dan perempuan dengan fisik kurang seperti saya tidak akan menang.
Seiring berjalan waktu, saya masuk ke jenjang sekolah menengah atas. Pada suatu kejadian, saya bertemu dengan seorang laki - laki. Kita sebut saja dengan nama Anton. Anton berperawakan tinggi, kulitnya putih, namun bertubuh agak kurus. Dia adalah laki - laki yang lembut. Saya mulai sering bersama dengannya. Pulang sekolah bersama, belajar bersama. Hingga akhirnya saya menaruh hati padanya. Dia yang dapat membuat saya menyadari, bahwa ada lelaki yang tidak hanya melihat fisik. Ya, pada dia yang tidak memiliki kepercayaan yang sama dengan saya. Tapi saat itu saya tidak peduli. Karena menurut saya, yang punya kepercayaan sama sudah menyakiti saya. Sedangkan dia yang berbeda kepercayaan, bisa menerima saya apa adanya dengan fisik saya yang seperti ini. Akhirnya, saya jatuh ke lubang yang seharusnya tidak boleh saya dekati.
Saya menjalin hubungan berbeda kepercayaan.
Pada awalnya, tidak ada masalah. Saya dengan Anton menjalankan kegiatan agama masing - masing seperti biasa. Namun lama kelamaan, masalah mulai muncul.
Pertama, lingkungan kami. Lingkungan kami seakan tidak menerima hubungan kami yang mereka anggap salah. Cibiran demi cibiran pun mulai kami terima. Baik dari teman - teman, maupun siapa saja yang mengetahui hubungan ini.
Kedua, orang tua kami masing - masing. Kedua orang tua kami tidak ada yang setuju. Bahkan sangat amat melarang keras. Belum lagi saya maupun Anton berasal dari suku yang dapat dibilang kental terhadap agama masing - masing.
Saat itu saya sedih. Saya marah kepada Tuhan. Saya protes kepada Tuhan. Kenapa harus seperti ini Di saat saya sudah menemukan orang yang dapat menerima saya apa adanya, tidak mengatakan bahwa saya jelek, selalu mendukung saya. Dalam pikiran saya terbesit, mengapa harus dengan yang seiman, jika yang berbeda iman lah yang dapat membuat saya nyaman?
Akhirnya, akibat sering terkena cibiran, tanpa sadar saya telah menjauh dari segala hal yang berbau agama. Untuk pergi ke gereja pun, saya mulai cari - cari alasan. Apalagi untuk kegiatan rohani remaja, yang banyak sekali membahas topik “Pacaran Berbeda Agama”. Sungguh, saat itu saya merasa sangat keras kepala dan keras hati demi mempertahankan hubungan itu.
Sampai akhirnya, tibalah saatnya saya untuk belajar SIDI. Atau sering dikenal dengan katekisasi. Sungguh, saya benar - benar setengah hati menjalani katekisasi tersebut. Karena saya tahu betul, saya tak akan bisa menghindar dari topik yang sangat saya benci. Namun orang tua saya memaksa karena itu adalah sebuah kewajiban, dan pada akhirnya saya ikut.
Sesuai dugaan, banyak hal dalam katekisasi ini yang bertopik “Pacaran Beda Agama”. Namun, apa pun yang pendeta sampaikan selama satu tahun itu, saya tidak peduli. Saya berkeras hati ingin tetap mempertahankan hubungan saya. Bahkan, secara diam - diam pun saya sudah sedikit membaca tentang agama yang dianut kekasih saya saat itu. Alangkah kerasnya kepala saya.
Sampai pada akhirnya, saya dipaksa ikut retret sebagai akhir dalam katekisasi ini. Saya makin - makin tidak bersemangat saat tahu akan pergi retret. Lagi - lagi saya berangkat retret ini dengan setengah hati. Sudah terbayang dalam pikiran saya, berhari - hari akan terjebak dalam semua hal berbau agama.
Rasanya sudah sangat lama saya tidak merasakan hal - hal rohani seperti retret ini. Jadi retret tersebut terasa sangat asing bagi saya. Berdoa setiap saat, membaca Alkitab terus menerus, bahkan game yang diadakan pun tidak jauh dari isi alkitab. Di situ saya sempat menyadari, bahwa saya sudah amat jauh dari Tuhan. Namun saya menepis pikiran itu. Saya tetap berkeras hati.
Tiba saatnya sesi yang dibawakan seorang pendeta dari luar gereja saya. Seperti biasa, saya sudah bersiap tidak mau mendengarkan apa yang akan beliau katakan. Tapi tidak seperti biasanya, kali ini pendeta tersebut meminta untuk mengumpulkan ponsel. Otomatis saya tidak punya pengalihan untuk tidak mendengarkan beliau. Jam demi jam berlalu, saya hanya duduk mendengarkan tanpa menyerap apa yang beliau katakan. Hingga akhirnya, masuk pada topik yang selalu saya hindari. Seperti biasa, saya berusaha tidak mendengar. Namun ada satu perkataan pendeta tersebut yang tanpa sadar saya dengar sekaligus menampar telak diri saya sehingga hidup saya berubah.
“Nah, sekarang saya mau tanya. Masih adakah di antara kalian yang mempunyai pacar berbeda agama? Kalau masih ada, saya tantang kalian. Saat ponsel ini dikembalikan, katakan padanya ‘sayang, cukup sampai di sini hubungan kita’ karena lebih baik kalian banjir air mata sekarang, daripada setelah menikah, kalian cuci muka pakai air mata”
Selama dua tahun ini, tidak ada yang berhasil menasehati saya. Namun sepatah perkataan pendeta tersebut berhasil menampar saya. Menghancurkan kekerasan hati saya. Tanpa sadar, saya menangis. Saya teringat akan Tuhan yang pasti sangat amat tersakiti melihat saya hampir berbelok dari-Nya. Tuhan pasti sangat tersakiti melihat saya memilih menjauh dari-Nya demi orang yang tidak mempercayai-Nya.
Alangkah jahat saya. Seusai menangis, saya bertekad dalam diri saya untuk mengakhiri hubungan saya dengan Anton daripada mengakhiri hubungan saya dengan Tuhan. Bukan hal yang mudah tentunya. Apa saya menangis? Ya jelas. Saya bercucuran air mata. Apa saya ikhlas? Tidak, namun harus. Saya sedih, amat sedih. Tetapi dibalik itu, ada perasaan lega yang tidak pernah saya rasakan selama dua tahun belakangan.
Kawan - kawan, jika kalian membaca tulisan ini, mungkin kalian sedang berada dalam posisi saya dulu.
Saya tahu betul, kalian pasti menyayangi pasangan kalian yang berbeda kepercayaan dengan kalian. Bisa jadi dengan alasan yang sama dengan saya, atau mungkin dengan alasan lain.
Saya tidak menyalahkan kalian yang jatuh cinta. Jatuh cinta adalah hak semua orang, dan cupid tidak pernah mau tahu kemana panahnya akan tertuju.
Namun, kawan. Jika kalian memiliki kekasih beda keyakinan, pada akhirnya kalian hanya akan diberi pilihan, Tuhan atau manusia? Yang menciptakan, atau yang diciptakan?
Bayangkan, betapa terlukanya Tuhan yang telah mengorbankan nyawa-Nya demi menebus kita, melihat bahwa kita ada dalam posisi bisa menyalibkan-Nya untuk kedua kalinya.
Saya paham betul, apa yang akan terlintas di pikiran kawan - kawan sekalian setelah membaca pengalaman saya. Mungkin ada yang berpikir positif, ada pula yang berpikir negatif. Itu semua kembali pada kawan - kawan sekalian. Saya juga paham betul, yang kawan - kawan butuhkan adalah nasihat yang lembut, dan pengertian. Bukan cacian kasar dari orang - orang yang menganggap kawan - kawan sekalian sepenuhnya salah.
Kawan – kawan, jika saat ini kalian membaca tulisan ini, dan sedang ada dalam posisi yang sedari tadi kita perbincangkan. Ikutilah perkataan saya. Pejamkan mata Anda sejenak, dan bayangkan. Bayangkan wajah kekasih Anda. Saya yakin, kekasih Anda adalah orang yang baik dan dapat mengerti Anda. Saya paham mengapa Anda sangat menyayanginya. Lalu bayangkanlah Tuhan Yesus. Kekasih jiwa yang baik dan selalu mengerti Anda sejak Anda belum ada di dunia ini. Memberi Anda apa pun yang Anda butuhkan. Kemanakah Anda akan berlabuh?
Kawan, Tidak mudah untuk melepas apa yang berharga bagi kita. Tidak perlu terburu - buru, lakukanlah perlahan. Ingatlah, apa yang terjadi pada kawan - kawan sekalian bukan tanpa sebab. Berdoalah, berceritalah pada Tuhan. Lakukanlah untuk Tuhan. Lalu semua akan baik - baik saja, dan indah pada waktunya.
Saya mengerti keadaan kawan - kawan sekalian, tetapi Tuhan lebih mengerti.

Bekasi, 16 Maret 2017.
Kesaksian dari Eve. W.