Berpacaran dengan Cara yang benar

Efesus 4:22-24, yaitu bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.

Bukan masalah boleh atau tidaknya berpacaran, yang jadi masalah apa yang menjadi motivasi berpacaran dan bagaimana itu dilakukannya. Kalau kamu betul-betul serius ingin mengubah cara berpacaranmu atau memulainya dalam kebenaran, yuk...perhatikan kelima cara pandang di bawah ini yang akan mengubah motivasi dan caramu melakukan pacaran.

1. Bagi saya, setiap hubungan adalah kesempatan untuk meneladani kasih Kristus

Teoritis banget....kedengarannya. Tapi memang, hanya kebenaran inilah yang akan memberikan dasar berpacaran dengan cara yang benar. Perhatikan contoh kasus di bawah ini:

Beti adalah seorang mahasiswi tingkat pertama yang ramah di sebuah universitas Kristen dan memiliki reputasi agak genit. Sayangnya, sebagian besar interaksinya dengan pria bersifat palsu – hubungan itu berfokus untuk menarik perhatian bagi dirinya sendiri dan mendapatkan reaksi dari siapapun yang saat itu disukainya. Beti menginvestasikan lebih banyak energi untuk membuat seorang pria menyukai dirinya daripada untuk memacu kekasihnya untuk bertumbuh imannya dalam Kristus.

Tetapi ketika Beti mengubah cara pandangnya dan menyadari bahwa persahabatannya dengan para pria merupakan kesempatan untuk mengasihi mereka sebagaimana yang dilakukan oleh Kristus, terjadi perubahan 180 derajat di dalam dirinya, dari kasih yang menggoda menjadi kasih Agape, yang memperlakukan para pria sebagai saudara laki-laki, bukan sebagai pacar yang potensial. Bukannya memandang dirinya sebagai pusat alam semesta di mana semua orang lain berputar mengelilingi dirinya, melainkan justru menolong orang lain menemukan pusat alam semesta yang sesungguhnya yaitu Yesus.

Kalau kita menjalani hidup dengan cara pandang ini, maka sesungguhnya kita sedang menyiapkan hati untuk terbiasa dengan Kasih Agape, kasih yang tidak egois, kasih yang akan sanggup mengikat seorang pria dengan wanita dalam pernikahan sampai akhir hayat mereka.

2. Bagi saya, masa lajang adalah karunia Allah

Ambillah kertas dan pulpen, buatlah daftar hal-hal positif apa saja yang hanya dapat dilakukan dengan leluasa dalam masa lajang dan akan menjadi sulit bahkan mustahil dilakukan setelah menikah. Kamu akan terkejut dengan banyaknya daftar yang dibuat.

Sebelum kita menyadari bahwa masa lajang kita adalah karunia Allah, maka kita akan terus kehilangan kesempatan-kesempatan luar biasa yang ada di dalamnya.

Bahkan mungkin saat ini kita dapat berpikir tentang sebuah kesempatan yang dapat kita raih jika kita melepaskan pola pikir tentang kencan. Sebagai seorang lajang, saat ini kita memiliki kebebasan untuk bereksplorasi, belajar dan menghadapi dunia. Tidak ada waktu lain di dalam hidup kita yang akan menawarkan lagi kesempatan-kesempatan tersebut.

3. Bagi saya, Saya tidak perlu mengejar hubungan percintaan sebelum saya siap untuk menikah

Sukacita keintiman adalah upah dari sebuah komitmen.

Allah telah menciptakan kita semua dengan suatu hasrat untuk memiliki keintiman, dan Ia sendiri akan mengupayakan supaya kita dapat mengalaminya suatu kelak nanti. Ketika kita masih lajang, Allah tidak mengharapkan hasrat ini hilang, tetapi Ia meminta supaya kita sabar menantikan waktunya dan selama masa penantian ini, hasrat ini dapat disalurkan dengan hubungan intim yang dibangun dengan keluarga dan persaudaraan dalam Kristus.

Cinta akan Allah berikan seiring dengan gaya hidup membangun keintiman secara sehat dalam persaudaraan dalam Kristus, kapan waktunya cinta itu diberikan adalah rahasianya Allah.

Ini tidak berarti bahwa kita harus menikahi orang pertama di mana kita menemukan keduanya, yaitu cinta dan keintiman. Walaupun ada saja beberapa orang yang menikahi orang pertama dengan siapa mereka telah mengembangkan hubungan intim dan romantik, tapi sebagian besar pasangan yang dijumpai tidak mengikuti jalur ini.

Yang jadi masalah bagaimana kita dapat mengetahui bahwa orang tersebut adalah orang yang kelak akan kita nikahi? Bertanya kepada Tuhan? Tidak semudah itu, ternyata.

Kita butuh orang lain yang bisa dipercaya! Kita butuh seorang kakak yang pernah mengalami hal yang sama, yang telah menikah, yang memahami Kebenaran Firman Tuhan dan yang dapat menolong kita untuk tidak salah menentukan sikap.

Orang inilah yang bisa kita jumpai kalau mengikuti Bimbingan PraNikah di gereja tertentu.

Mengikuti Bimbingan PraNikah bukan berarti sudah harus memiliki pasangan yang sudah siap menikah, tapi di saat hati ini sedang bimbang dalam menentukan pilihan kita sudah dapat mengikuti konseling yang dilayani oleh para Pembina PraNikah.

4. Bagi saya, saya tidak dapat “Memiliki” seseorang di luar pernikahan

Dalam pandangan Allah, dua orang yang menikah adalah menjadi satu kesatuan. Dan ketika kita terus bertambah dewasa, sering kali kita akan mengukir kesatuan yang berasal dari berbagi kehidupan dengan seseorang lawan jenis yang di luar konteks pernikahan. Satu hal yang kita boleh lupakan, bahwa sebelum kita siap untuk mengikat diri kita di dalam pernikahan, kita tidak memiliki hak untuk memperlakukan siapapun seolah-olah orang itu adalah milik kita.

Mintalah Allah menunjukkan kepada kita, apakah kita perlu mengevaluasi kembali hubungan khusus kita dengan seseorang yang sedang dibangun saat ini.

5. Bagi saya, saya akan menghindari situasi-situasi yang dapat membuat saya berkompromi dengan kesucian tubuh atau pikiran saya

Jessica, adalah seorang gadis yang sangat naif. Walaupun ia masih perawan dan telah berkomitmen untuk menyimpan seks hingga pernikahan, ia menempatkan dirinya dalam situasi-situasi yang memungkinkan terjadinya kompromi dengan pacarnya – mengerjakan tugas sekolah di rumahnya ketika ibunya pergi, berenang berdua, mengakhiri kencan mereka di mobil yang diparkir. Jika Jessica jujur, ia akan mengakui bahwa ia menyukai kenikmatan dari situasi-situasi tersebut. Ia merasa bahwa hal itu sangat romantik, dan hal itu memberikan kepadanya perasaan dapat mengendalikan pacarnya, yang, jujur saja, akan menuntut hubungan fisik yang semakin jauh.

Tetapi ketika Jessica mengambil sebuah sikap baru, ia melihat bahwa kekudusan adalah lebih dari sekedar mempertahankan keperawanan. Ketika ia secara jujur menguji hubungannya dengan pacaranya, ia menyadari bahwa ia telah membelok dari jalur kekudusan. Untuk kembali ke jalur yang benar, ia harus mengubah gaya hidupnya secara drastis. Pertama-tama ia memutuskan hubungan dengan pacarnya karena hubungan itu berfokus pada aspek fisik. Kemudian ia berjanji untuk menghindari situasi-situasi yang membuatnya bisa berkompromi terhadap dosa.

Di mana, kapan dan dengan siapa kita memilih untuk menghabiskan waktu kita akan mengungkapkan seberapa jauh komitmen kita terhadap kekudusan. Ujilah kecenderungan-kecenderungan ini. Jika benar adanya, pastikan bahwa kita tidak menempatkan diri lagi dalam situasi-situasi yang membuka celah pada godaan.

Hy menyadur dari “I Kissed Dating Goodbte” Joshua Harris, Immanuel 2006.

Sumber

11 Sionisme dan Gerakan Pemulihan Israel

Setelah kita menyelidiki perkembangang berbagai bentuk Sionisme dalam artikel-artikel sebelumnya, kini kita akan melihat usaha-usaha Sionisme dalam mendirikan negara Israel sebagai Tanah Air kaum Yahudi sedunia. Orang-orang Yahudi di diaspora (pengasingan) sudah dibenci dan dianiaya di Eropa dan penguasa baru di Palestina, Kerajaan Inggris, juga menjadi penjajah, penganiaya dan penghalang dalam usaha mendirikan negara Israel. Di dalam beberapa artikel berikut, kita akan melihat berbagai tantangan yang dihadapi kaum Yahudi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sehingga mudah disimpulkan bahwa adalah mustahil agar impian berdirinya bangsa Israel akan bisa menjadi realita. Bilamana Israel kemudian menjadi negara merdeka dan berdaulat adalah mukjizat sejarah dan ekistensinya ke depan tetap merupakan suatu tantangan besar.

Gerakan dan Usaha Pemulangan ke Palestina

Gerakan Aliyah

Aliyah adalah kata bahasa Ibrani dengan arti "mendaki", yang mempunyai arti secara rohani “mendaki” ke Tanah Kudus. Istilah ini dipakai untuk menyebut rombongan-rombongan pemulangan orang-orang Israel dari Eropa sejak tahun 1878 hingga proklamasi kemerdekaan Israel pada tahun 1948.

1878 – Awal Gerakan Aliyah dan Ekspansi Pendatang Sionis

Pedesaan pertama Sionis, Petah Tikva, didirikan pada tahun 1878. Pemimpinnya, namanya Biluim telah biasa memakai kaffiyeh sebagai penutup kepala. Penduduk Petah Tikva, awalnya diduduki oleh orang-orang Yahudi yang dulu tinggal di Yerusalem yang ingin keluar dari Yerusalem Tua yang sangat padat penduduknya dan dibatasi oleh tembok-tembok besar.

Kemudian pedesaan Rishon LeSion didirikan pada tanggal 31 Juli 1882 oleh 10 orang Yahudi yang adalah anggota kelompok Sionis yang disebut Hovevei Sion yang berasal dari Kharkov, atau masa kini disebut, Ukraine. Pedesaan baru ini dipimpin oleh Zalman David Levontin. Komite Perintis Pedesaan Yahudi yang sudah dibentuk di Yaffa, pelabuhan ketibaan kebanyakan pendatang baru telah membeli 340 hektar (3.4 km²) tanah dekat desa Arab yaitu Uyun Qara.

Gerakan Sionis

Pada tahun 1883, Nathan Birnbaum, yang berumur 19 tahun, mendirikan organisasi Kadimah di Austria. Organisasi ini adalah Asosiasi Mahasiswa Yahudi pertama di Vienna. Tahun berikut terbitannya yang pertama, Selbstemanzipation atau Emasipasi Diri muncul. Tujuannya adalah untuk menggairahkan kawan-kawan Yahudi untuk mencari kebebasan dari tekanan dan aniaya yang sering menargetkan kaum Yahudi di Eropa. Di manakah tempat kebebasan itu? Jawabannya hanya satu: di Eretz Israel.

Theodor Herzl berbicara di Kongres II Sosialis Sionisme tahun 1898

Bersama dengan Nathan Birnbaum, Herzl telah merencanakan Kongres Sionis pertama di Basel, Switzerland. Pada kongres itu, hasil kesepakatannya adalah:

Sionisme akan berusaha mendirikan tanah air untuk kaum Yahudi di Eretz-Israel yang dilindungi hukum. Kongres itu sepakat untuk melakukan hal-hal berikut untuk mencapai tujuannya:

1. Promosi secara wajar pendudukan Eretz-Israel dengan petani-petani Yahudi, kaum buruh dan pabrik-pabrik.

2. Mengurus dan mempersatukan seluruh kaum Yahudi dengan menggunakan institusi-institusi yang wajar, baik lokal maupun internasional, sesuai dengan hukum di masing-masing negara di mana kaum Yahudi sudah berada.

3. Menguatkan dan mendukung rasa nasionalis kaum Yahudi dan kesadaran akan kewarganegaraannya sebagai warga Yahudi.

4. Melakukan langkah-langkah awal untuk memperoleh izin dari berbagai negara, untuk mencapai tujuan gerakan Sosialis Sionisme.

Pada tahun 1909, kibbutz Degania, didirikan di Israel Utara. Inilah yang diakui sebagai kibbutz yang pertama. Kibbutz-kibbutz merupakan desa-desa atau kebun-kebun Sosialis Sionisme yang menjadi ciri khas unik perkembangan Israel hingga masa kini.

Juga pada tahun 1909, kota Tel Aviv didirikan. Namanya berasal dari hasil karya Theodor Herzl. Kota ini yang kemudian telah menjadi kota terbesar di Israel, telah didirikan di daerah padang pasir yang kosong sedikit ke utara dari pelabuhan Yaffa.

Konflik dengan Orang Arab

Pada akhir abad ke-19, nationalisme Arab sama sekali belum ada, bahkan jumlah penduduk Arab di wilayah Palestina sangat sedikit dan mereka merupakan penduduk yang bersifat non-politik. Karena jumlah penduduk Palestina adalah mayoritas Yahudi maka kebanyakan pemimpin Sionis telah percaya bahwa tidak akan terjadi konflik di antara masyarakat orang-orang Arab dan masyarakat Yahudi baru yang sedang pulang setelah hampir 1800 tahun pengasingan yang bergabung dengan orang-orang Yahudi yang sejak awal ada di situ. Karena seluruh masyarakat itu, Yahudi yang asli dan Arab, telah hidup bersama dengan cukup damai selama lebih dari 1200 tahun maka mereka telah yakin konflik dapat dihindari dengan ketambahan Yahudi yang kembali dari pengasingan di Eropa. Pada waktu itu kedua belah pihak telah merasa untung dengan pengharapan perkembangan ekonomi yang akan terjadi. Kaum Yahudi sudah sangat mengharapkan dan percaya bahwa kaum Arab akan menyetujuinya dan akan sepenuhnya bekerja bersama. Namun, impian itu tidak pernah tercapai.

Memang, telah makan cukup banyak waktu untuk kaum Sionis menyadari betapa dalamnya perasaan dan intensitas konflik yang mulai terjadi, yang pada hakekatnya adalah konflik antara dua kelompok orang yang dua-duanya merasa memiliki hak milik atas seluruh tanah itu sebagai tanah airnya sendiri. Kaum Yahudi karena dasar keyakinan agama, sejarahnya dan bahwa daerah Palestina tidak pernah kosong dari penduduk Yahudi, walaupun di sebagian waktu mereka adalah penduduk minoritasnya. Kaum Arab merasa memilikinya sebab sudah 1200 tahun Palestina di bawah pemerintahan Arab atau Kalifat Ottoman, kerajaan Islam itu. Jadi mulai dari awal gerakan Aliyah itu, konflik sudah mulai terjadi.

Sionisme dan para penduduk Arab

Kaum Yahudi lokal Palestina yang sudah selamanya tinggal di wilayah Palestina telah hidup melalui suatu sejarah interaksi dengan penguasa Muslim dan para tetangga Arab yang sukar, yang justru menjadi semakin rumit karena permusuhan antara agama Islam dan agama Yahudi.

Di luar kota Yerusalem, kota Safed dan kota Tiberias, masyarakat Arab dan masyarakat Muslim non-Arab merupakan mayoritas besar masyarakat, sedangkan di tiga wilayah tersebut, masyarakat Yahudi adalah mayoritas besar. Kaum perintis Sionisme adalah sangat sadar tentang ketidakseimbangan ini, namun mereka mengklaim bahwa semua penduduk akan memperoleh untung dari imigrasi kaum Yahudi dari diaspora itu. Di samping itu, kaum imigran itu telah memilih untuk tidak memasuki wilayah mayoritas Arab/Islam agar menghindari konflik sehingga mereka lebih memilih untuk menduduki wilayah-wilayah yang kosong, seperti di dataran pesisir dan di Lembah Yizreel.

Slogan propaganda Sionisme, “Tanah tanpa masyarakat untuk masyarakat tanpa tanah,” telah menyimpulkan visi Sionisme, yaitu untuk menduduki tanah yang kosong bukan untuk menduduki tanah milik orang lain. Namun slogan itu telah mengabaikan fakta bahwa kaum Arab adalah kaum pengembara yang merasa tanah apapun yang pernah didudukinya, walaupun kini telah ditinggalkan adalah milik abadinya. Di sini kita dapat melihat benih konflik soal hak milik Palestina sudah ditanam dan setelah bertumbuh selama puluhan tahun akan menyebabkan permusuhan, kebencian dan konflik yang meledak pada waktu proklomasi kemerdekaan negara Israel pada tahun 1948.

Sebenarnya benih-benih itu sudah lama sekali tertanam di daerah itu, tetapi setelah gerakan aliyah dan kedatangan ratusan ribu kaum Yahudi yang pulang dari diaspora, maka benih-benih itu disiram dan mulai bertunas kembali.

Peranan Kalifat Ottoman

Walaupun sebagian penduduk Arab Palestina sudah menghadap pemerintahan Ottoman pada tahun 1880an (Kalifat Ottoman adalah Kerajaan Islam Turki yang adalah penjajah Timur Tengah selama 500 ratus tahun) untuk memprotes penjualan tanah kepada pendatang Yahudi baru. Namun perlawanan serius terhadap perkembangan Sionisme dan penjualan tanah kepada kaum Yahudi yang baru datang mulai berkembang dengan cepat pada tahun 1890an setelah visi luas Sionisme menjadi semakin nyata. Adalah penting untuk diketahui bahwa perkembangan dan perluasan pembelian tanah oleh orang-orang Yahudi baik dari Kerajaan Ottoman bahkan dari masyarakat Arab disetujui oleh Kalifat Ottoman yang melihat keuntungan ekonomi dalam mengisi tanah yang kosong dengan masyarakat yang mungkin sekali akan menghasilkan untung ekonomi bagi kerajaan Ottoman itu.

Perlawanan kaum Arab pada waktu itu tidak bersumber pada rasa nasionalisme kaum Arab sebab pada waktu itu belum ada rasa nasionalisme di antara kaum Arab melainkan perlawanan itu bersumber pada rasa ancaman terhadap nafkah dan sumber pendapatan masyarakat Arab. Kekuatiran itu telah berkembang pada awal Abad ke-20 karena usaha pengembangan ekonomi oleh kaum Sionis yang tidak mau menggunakan tenaga kerja Arab, yang dianggapnya malas, sedangkan tenaga kerja Yahudi dianggap rajin dan bersedia bekerja keras. Di manapun ada usaha untuk mempekerjakan tenaga kerja Arab, terjadi perlawanan dari Perserikatan Kaum Buruh Ibrani yang menunutut agar pendatang-pendatang baru sajalah yang dipekerjakan. Dengan demikian benih-benih kekuatiran, kecurigaan, kebencian dan permusuhan terus disiram sehingga menjadi suatu kekuatan yang di kemudian waktu akan meledak dan buah-buahnya sedang dituai pada masa kini.

Dalam artikel berikut kita akan melihat apa yang terjadi dalam usaha mendirikan negara Israel setelah Kalifat Ottoman digulingkan pada tahun 1917 yang menjadi langkah yang sangat signifikan dalam lahirnya kembali negara Israel dan perkembangan konflik di Timur Tengah terhadap ekistensi negara Israel itu. Dalam hal ini peran Deklarasi Balfour di Inggris menjadi penting sekali dalam membentuk gambar masa depan wilayah Palestina.

Artikel ini merupakan sambungan dari Berbagai Gerakan Sionisme (1862 - 1917)

Bersambung ke Usaha Mendirikan Negara Israel

Sumber

10 Berbagai Gerakan Sionisme

Sebagaimana kita lihat dalam artikel yang lalu bahwa sepanjang sejarah 3500 tahun sejak bangsa Israel menguasai wilayah Palestina, daerah itu adalah tanah air yang dikaruniakan Allah kepadanya sebagaimana dicatat dalam Al-Qur’an (Surah Al Maidah 5:20-21) dan Alkitab (Keluaran 6:7). Kita sudah lihat pula bahwa sepanjang 3500 tahun itu tidak pernah ada waktu di mana tidak ada masyarakat Israel yang tinggal di sana.

Tujuh Periode Pengembangan dan Pembentukan Israel

  1. Perbudakan di Mesir – 2100 sM – 1500 sM.
  2. Perbudakan di Babel – 536 sM-457 sM
  3. Kekuasaan Farsi – 457 sM – 332 sM
  4. Kekuasaan Yunani – 332 sM – 52 sM
  5. Jajahan Roma – 52 sM – 70 M
  6. Pembuangan ke seluruh dunia – 70 M – 1948
  7. Pemulangan diaspora ke Palestina – 18 – 1948

Bangsa Israel pernah melalui berbagai masa jajahan atau perbudakan. Dalam masa-masa itu telah terjadi tiga kali masa pembangunan, kembalinya masyarakat sejarah massal atau pemulihan Israel sebagai bangsa yang menduduki Palestina. Ketiga masa itu adalah:

  1. Zaman Keluaran 3 juta orang yang keluar dari Mesir untuk menjadi bangsa Israel di Palestina – 1500 sM
  2. Zaman pemulangan dari Babel atas perintah Raja Farsi, Koresh – 457 sM
  3. Zaman pemulangan diaspora di zaman modern – 1700-1948.

Memang wilayah itu telah mengalami pergantian pemerintahan, penjajah dan penduduk berulang kali tetapi satu-satunya bangsa yang selalu dan selamanya ada di sana adalah kaum Yahudi. Walaupun sampai 85% kaum Yahudi sudah masuk diaspora di berbagai bangsa, yang 15% itu tetap tinggal di wilayah Palestina. Kadang-kadang mereka adalah penduduk mayoritas, kadang-kadang minoritas, tergantung jumlah penjajah yang masuk. Namun karena wilayah itu tandus, tidak produktif dan terdapat banyak tantangan, penduduk-penduduk baru biasanya tidak tahan lama.

Mulai pada awal 1700’an ada gerakan pemulangan antara yang 85% yang di diaspora itu berkaitan dengan situasi politik dunia, penganiayaan dan perubahan situasi ekonomi. Gerakan pemulangan ini menjadi terkenal sebagai Gerakan Sionisme. Dalam edisi yang lalu kita sudah melihat “Makna Sionisme” dan “Sebabnya Muncul Sionisme”. Sekarang kita akan melihat beberapa hal lainnya yaitu Sionisme Sosialis, Religius, Nasionalis dan Kultural dan pengaruhnya dalam pemulangan kaum Yahudi ke Palestina.

Visi Pemulangan Yahudi ke Palestina

Visi Sionisme Sosialis

Pada tahun 1862, penulis Yahudi, Moses Hess telah menerbitkan visinya untuk kaum Yahudi kembali ke Palestina. Bukunya berjudul, Rome and Jerusalem; The Last National Question. Buku ini mengemukanan visi kaum Yahudi kembali ke Palestina sebagai sarana menyelesaikan masalah identitas nasionalnya. Hess menginginkan negara sosialis di mana kaum Yahudi menjadi negara petani yang akan “menebus tanah” dan mengubahnya menjadi bangsa yang sesungguhnya yang menguasai semua lapisan ekonomi yang produktif sebagai pemilik tanah daripada yang non-produktif yaitu lapisan perdagangan. Gerakan ini telah melahirkan gerakan Sionis Sosialisme yang menjadi pelopor sistem kibbutz yang banyak dipakai di Israel sampai masa kini.

Visi Sionisme Religius

Juga pada tahun 1862, Rabbi Zvi Hirsch Kalischer seorang Yahudi Jerman Ortodoks menerbitkan tulisannya, Derishat Sion, yang mengemukakan Sionisme Religius yang menjanjikan keselamatan kepada kaum Yahudi sesuai janji-janji para nabi dan bahwa pertolongan Tuhan hanya akan terjadi bilamana bangsa Yahudi sendiri bersedia bertindak dan menolong dirinya sendiri.

Walaupun Sionisme sangat berakar dalam tradisi-tradisi agama Yahudi yang mengikat kaum Yahudi ke Tanah Israel, gerakan pemulangan modern lebih bersifat sekuler sebagai reaksi terhadap anti-Semitisme yang berkembang bahkan membludak pada akhir abad ke-19 di Eropa. Buku “The Protocols of the Elders of Zion” sebuah buku yang ditulis oleh beberapa orang yang membenci kaum Yahudi. Buku tersebut diedarkan seolah-olah ditulis tokoh-tokoh Yahudi dengan rencana besar untuk menaklukkan seluh dunia. Buku itu tidak ditulis kaum Yahudi tetapi justru oleh kaum anti-semitis guna menimbulkan lebih banyak kebencian terhadap kaum Yahudi. Tujuan mereka dicapai. Penganiayaan meningkat bahkan dipakai Hitler untuk membenarkan holocaust. Semuanya ini mendorong kaum Yahudi untuk harus pulang ke Palestina.

Visi Sionisme Nasionalis

Berkaitan dengan keinginan kembali ke Palestina telah muncul Sionisme yang bersifat Nasionalis, suatu gerakan kemerdekaan nasional kaum Yahudi. Gerakan ini telah bertumbuh pada abad ke-19 dalam konteks nastionalisme umum yang berkembang dalam semua bangsa Eropa. Sionisme menyatukan dua tujuan besar, kemerdekaan dan kesatuan. Kedua hal ini dapat dicapai dengan mengembangkan visi memerdekakan kaum Yahudi dari penganiayaan, kebencian dan penekanan pemerintahan asing di Eropa lalu memanggil semua diaspora Yahudi untuk bersatu kembali dengan suatu pemulangan global dari keempat penjuru dunia dan mendirikan kembali Tanah Airnya, Israel.

Pada tahun 1880an di Eropa Timur ada beberapa kelompok aktifis gerakan Sionisme ini seperti Hibbat Sion di mana emansipasi kaum minoritas belum terjadi seperti di Eropa Barat. Penganiayaan anti-Yahudi yang disebut pogrom telah menyusul asasinasi Kaisar Aleksander II dan ini membuat emansipasi bagi kaum Yahudi semakin sulit sehingga gerakan dan visi pemulangan menjadi semakin populer.

Di samping itu, di Perancis pada tahun 1894 terjadi skandal yang disebut The Dreyfus Affair yang melapaskan gerakan anti-Semitisme yang sangat mengejutkan Eropa. Perancis sebelumnya dianggap bangsa terkemuka dalam toleransi. Karenanya, seorang wartawan Yahudi, Theodore Herzl, telah menulis sebuah buku, “Negara Yahudi” yang mengungkapkan skandal Dreyfus sebagai pemicu mengubah visi banyak orang Yahudi yang tadinya tidak mendukung Sionisme tetapi sekarang telah menjadi seperti suatu banjir besar sehingga kerinduan kaum Yahudi untuk kembali ke tanah airnya menjadi sulit dibendung lagi. Pada tahun 1897 the Gerakan Sionis Sedunia dibentuk dan Herzl menjadi Presiden Sionisme yang pertama dan pengaruh gerakan nasionalis menjadi semakin luas.

Visi Sionisme Kultural

Sionisme juga mengembangkan visi pemulihan dan pertahanan kebudayaan Yahudi, khususnya bahasa Ibrani yang secara utuh sudah menghilang dari bahasa-bahasa dunia.

Hasil visi itu adalah bahasa Ibrani dibangkitkan kembali sebagai bahasa yang hidup yang dipakai dalam pemerintahan, perdagangan, pendidikan dan keilmuan, sebuah bahasa yang dipakai oleh semua orang Yahudi sebagai bahasa pemersatu.

Seorang pemikir Sionis, Asher Ginsberg, yang lebih dikenal dengan nama samaran Ahad Ha'am, dalam bukunya One of the People telah menolak pentingnya Sionisme Politik untuk mencapai Negara Israel karena dia berpendapat bahwa persatuan melalui kebudayaan dan bahasa jauh lebih penting. Ahad Ha'am telah menyadari bahwa gerakan kemerdekaan dan pendirian Negara Israel pasti akan menimbulkan konflik dengan masyarakat Arab yang sudah ada di Palestina apalagi dengan penguasa daerah itu, Kerajaan Ottoman dan penguasa kolonial Eropa yang pada saat itu sedang berusaha merebutnya juga dari tangan Ottoman.

Daripada langsung mengusahakan Negara Israel lewat jalur politik, Ahad Ha’am lebih cenderung membangun gerakan pemulihan kebudayaan dan bahasa yang akan menyatukan kaum Yahudi dan tidak kelihatan sebagai ancaman terhadap penguasa-penguasa tsb. Gerakan seperti itu bisa membangun suatu momentum alamiah sehingga menjadi otomatis dan nyata bahwa ada bangsa Yahudi sebagai penduduk mayoritas Palestina.

Tokoh sebagai pelopor gerakan memulihkan bahasa Ibrani yang hidup adalah Eliezer Ben Yehuda. Pada tahun 1880’an kebanyakan kaum Yahudi Eropa hanya berbahasa bahasa Yiddish, sebuah bahasa campuran berdasarkan bahasa Jerman kuno campur kata-kata Ibrani. Ben Yehuda dan para pendukungnya mulai menganjurkan pemulihan bahasa Ibrani lalu mulai mengajarkan bahasa Ibrani modern berdasarkan bahasa Ibrani Alkitabiah. Setelah 1800 tahun bahasa Ibrani dianggap bahasa mati. Ben Yehuda telah menghidupkannya kembali.

Ben Yehuda telah tiba di Palestina mengikuti Aliyah Pertama pada tahun 1881 lalu memimpin proyek pemulihan bahasa Ibrani. Aliyah adalah kata bahasa Ibrani dengan arti ‘mendaki’, dan bermakna, “mendaki ke Tanah Kudus”. Dengan pertolongan Nissim Bechar, Dekan Alliance Israelite Universelle, Ben Yehuda mulai mengajarkan bahasa Ibrani. Kemudian dia menerbitkan surat kabar harian Hatzvi dan mendirikan sebuah Dewan Linguistik. Karya Ben Yehuda telah berhasil menyelidiki, memulihkan dan menghidupkan kembali bahasa Ibrani sebagai bahasa modern.

Bahasa Ibrani mulai menjadi faktor pemersatu para pendatang baru dan para penduduk lama. Banyak dari mereka mulai mengambil nama-nama baru, nama-nama Ibrani.

Perkembangan kota modern baru, Tel Aviv, sebagai kota pertama yang berbahasa Ibrani modern bersamaan dengan perkembangan gerakan kibbutz, dan perkembangan institusi-institusi ekonomi Yahudi lainnya telah meletakkan dasar kuat untuk nasionalisme baru yang menjadi nyata pada Perang Dunia Pertama (1914-1918) yang juga mendukung deklarasi Inggris pada tahun 1917 yang disebut Deklarasi Balfour, yang meluncurkan gerakan dari bangsa adidaya itu untuk mendirikan kembali Negara Israel di Palestina. Realita dari deklarasi itu kemudian disaksikan setelah Perang Dunia Kedua (1939-1945) berakhir.

Kombinasi berbagai faktor ini, Sionisme Sosialis, Sionisme Religius, Sionisme Nasionalis dan Sionisme Kultural telah melahirkan suatu gerakan yang menyatukan semua elemen kaum Yahudi dengan visi bahwa pada generasi mereka, doa, kerinduan dan perjuangan mereka selama 1800 tahun untuk “tahun depan di Yerusalem” dapat terwujud dengan sesungguhnya.

Namun, munculnya Sionisme, publikasi buku fabrikasi The Protocols of the Elders of Zion, tekanan-tekanan politik dan ekonomi di antara bangsa-bangsa Eropa telah membuat gerakan anti-semitisme membludak dan memuncak dengan pogrom-pogrom dan kemudian komunisme di Rusia, penganiayaan di Perancis, fasisme di Italia dan Spanyol dan nazisme di Jerman dan sebagainya sehingga suatu solusi harus ditemukan. Untuk kaum Yahudi solusi adalah pemulangan ke Palestina. Untuk Hitler solusinya, yang dia sebut “Solusi Akhir”, adalah eksterminasi semua orang Yahudi dari permukaan bumi.

Dalam artikel berikut kita akan menyelidiki usaha-usaha pemulangan bangsa Yahudi dan munculnya Deklarasi Balfour pada tahun 1917.

(DR. Jeff Hammond)

Artikel ini merupakan sambungan dari Sejarah Sionisme dan Gerakan Pemulihan Israel (1700-1917)

Bersambung ke Sionisme & Gerakan Pemulihan Israel (1878-1948)

Sumber

9 Sejarah Sionisme dan Gerakan Pemulihan Israel 1700

Di dalam artikel-artikel 1-8 kita sudah melihat langkah demi langkah cara tanah Palestina diduduki. Dari zaman sebelum 3500 tahun lalu wilayah itu diduduki dari berbagai suku kecil, kebanyakan sebagai pengembara dan pada dasarnya masa kini suku-suku itu tidak ada lagi.

3500 tahun yang lalu Tuhan telah memberikan tanah Palestina itu ke sebuah bangsa yang ”lahir” di Mesir dari 70 orang keturunan Abraham, Ishak dan Yakub yang telah menjadi bangsa dengan tiga juta orang. Bahwa Palestina diberikan Tuhan kepada bangsa baru ini yang keluar dari Mesir dicatat dalam Alkitab (Keluaran 6:7) dan dalam Al-Qur’an (Surah Al Maidah 5:20-21).

Selama 1600 tahun berikut sampai tahun 70M wilayah Palestina adalah tanah Negara Israel dari zaman Yosua sampai penghancuran kota Yerusalem oleh tentara Roma yang dipimpin Jenderal Titus. Dari 70M itu masyarakat Israel yang masih hidup setelah pembantaian besar-besaran hanya sekitar 15% tetap tinggal di Palestina dan yang lain sudah menjadi diaspora ke pelbagai bangsa Eropa, Asia dan Timur Tengah. Kemudian mereka mengembara ke Amerika Serikat, Amerika Latin, Australia dll sampai 14 Maret 1948 pada waktu PBB telah mengakui kembali eksistensi Negara Israel di wilayah Palestina.

Apa menjadi faktor-faktor Israel lahir kembali setelah 1878 tahun tidak ada Negara Israel dan padang pasir Palestina menjadi rebutan berbagai bangsa? Untuk memahaminya kita perlu mempelajari latar belakang dan langkah-langkah kembalinya orang-orang Yahudi dan faham ”Sionisme” yang dimilikinya yang mendorong mereka kembali mendirikan negara Israel kembali.

1. Makna Sionisme

"Sionisme" mendapat namanya dari nama kota yang disebut di Alkitab sebagai "Sion". Sion dalam sejarah telah menjadi sinonim untuk kota Yerusalem bahkan seluruh Tanah Israel. Sionisme adalah sebuah ideologi yang mengungkapkan keinginan masyarakat Yahudi di seluruh dunia untuk kembali ke kampung halaman historis mereka, Israel.

Inti pemikiran Sionisme adalah konsep bahwa Tanah Israel adalah tempat lahirnya Negara Israel (di zaman Yosua) dan keyakinan bahwa kehidupan Yahudi di tempat lain adalah kehidupan dalam pengasingan.

Berabad-abad kaum diaspora Yahudi telah memelihara hubungan kuat dan unik dengan tanah asalnya, dan kerinduan untuk kembali lagi ke Sion diungkapkan melalui berbagai ritual dan literatur sbb:

  • Dalam DOA, kaum Yahudi sebagai penyembah diinstruksikan untuk menghadap ke arah timur, ke arah Israel, ke arah kota Yerusalem.
  • Dalam IBADAH PAGI, orang Yahudi berkata “Bawalah kami dengan damai dari keempat penjuru dunia dan memimpin kami dengan kebenaran ke tanah kami.”
  • Para pendoa secara harian BERDOA, “Terpujilah Engkau, ya Tuhan, yang membangun Yerusalem,” dan “Terpujilah Engkau, ya Tuhan, yang memulihkan hadirat-Nya ke Sion.”
  • DOA SETELAH MAKAN termasuk berkat yang berakhir dengan doa untuk pembangunan kembali “Yerusalem, Kota Kudus, dengan segera dibangun kembali pada generasi kami.”
  • Dalam PEMBERKATAN NIKAH, mempelai lelaki mencari agar “mengangkat Yerusalem menjadi sukacita utama kami.”
  • Waktu PENYUNATAN doa dari Mazmur 137:5 diucapkan, “Jika aku melupakan engkai, hai Yerusalem, biarlah menjadi kering tangan kananku.”
  • Waktu akhir perjamuan PASKAH, setiap orang Yahudi selama 1900 tahun berkata, “Tahun depan di Yerusalem!
  • Pada saat BERDUKA, yang berduka dihiburkan dengan menyebut Tanah Israel: “Terpujilah Engkau, ya Tuhan, Penghibur Sion dan yang membangun Yerusalem.”
  • Dalam berbagai jenis PUISI kerinduan kaum Yahudi untuk kembali ke Tanah Airnya ditulis dalam bahasa Ibrani dan dialek-dialek Yahudi lainnya, seperti Yiddish di Eropa Timur dan Ladino di Spanyol.

Inti pemikiran faham Sionisme ini dicatat dalam Deklarasi Kemerdekaan Israel (14 May 1948), yang berbunyi:

“Tanah Israel adalah tempat kelahiran bangsa Yahudi. Di sini identitasnya secara rohani dan politik dibentuk. Di sini mereka mula pertama mencapai status negara, menciptakan nilai-nilai kebudayaan dengan makna penting secara nasional dan universal bahkan tanah ini melahirkan dan telah memberikan kepada dunia Kitab segala Kitab. Setelah diusir secara paksa dari tanahnya, masyarakatnya telah memelihara imannya pada bangsanya di sepanjang pembuangannya dan tidak pernah berhenti berdoa dengan pengharapan agar kembali kepadanya dan untuk memulihkan di dalamnya kebebasan politik.”

Jadi tujuan Sionisme adalah agar kaum Yahudi memiliki tanah Palestina kembali yang di dalamnya berpenduduk mayoritas orang-orang Yahudi melalui pemulangan yang tidak terbatas dari semua kaum Yahudi dari berbagai bangsa dan agar mendirikan kembali Negara Israel.

2. Sebabnya Munculnya Sionisme

Ada beberapa sebab utama untuk meningkatnya Sionisme. Pertama adalah dorongan-dorongan nubuatan Alkitab yang menyatakan Israel akan dikumpulkan kembali dari berbagai bangsa setelah pembuangannya (Ulangan 28:64-66; 30:1-5; Lukas 21:20-24).

Kedua adalah meningkatnya berbagai bentuk anti-semitisme dalam penganiayaan di Eropa yang akhirnya menghasilkan holocaust (pembunuhan massal) di Jerman di bawah Adolf Hitler (1939-1945) dan pogrom-pogrom di Rusia (1870-1964) di bawah pimpinan para kaisar Rusia dan dilanjutkan oleh kaum Komunis di bawah Lenin dan Stalin yang menewaskan 10 juta orang Yahudi. Penganiayaan dan pembunuhan massal seperti itu sangat mendorong bahkan mendesak kaum Yahudi untuk kembali ke Palestina dan mendirikan kembali Negara Israel.

Ketiga adalah bangkitnya gerakan nasionalisme dan akhirnya zaman kolonialisme Ottoman dan Barat pada waktu Perang Dunia Pertama dan Kedua sehingga ada peluang untuk banyak gerakan nasionalis memproklamirkan kemerdekaan, a.l. Siria, Libanon, Arab Saudi, Yordan, Indonesia dan Israel.

Yang keempat adalah dampak Revolusi Perancis. Revolusi yang mengakhiri sistem aristokrasi dan lahirnya demokrasi membangkitkan Napoleon dan pembebasan bagi kaum Yahudi. Tidak lagi mereka terkurung dalam ghetto-ghetto (kampung etnis) kota-kota Eropa, dan mereka menjadi warga negara sama seperti masyarakat lainnya. Dengan peluang ini kaum Yahudi sangat maju dalam ilmu teknologi, politik, pendidikan, perbankan, perdagangan dan kekayaan. Dampaknya baik positif maupun negatif. Positifnya adalah kapasitasnya untuk bermigrasi kembali ke Israel meningkat. Tetapi negatifnya adalah kecemburuan ekonomi sehingga mereka semakin dibenci oleh masyarakat asli setempat.

Semua faktor ini mendukung munculnya Sionisme, yaitu kerinduan kembali ke Palestina dan membangun kembali Negara Israel.

3. Kaum Yahudi berangsur-angsur Kembali ke Palestina

Sejak zaman jajahan Roma dan penghancuran Yerusalem pada tahun 70M tetap ada populasi Yahudi yang tinggal di wilayah Palestina, kadang-kadang sebagai penduduk mayoritas, kadang-kadang sebagai penduduk minoritas. Mulai sekitar tahun 1700, para imigran Yahudi yang dipimpin oleh Rabi-Rabi mereka, dari Eropa dan dari berbagai bangsa lain dalam Khilafah Ottoman (Kerajaan Islam), telah mulai tiba di Palestina dengan berbagai programnya agar tinggal tetap di Palestina.

Misalnya, Rabi Yehuda Hehasid dan pengikutnya mendirikan perkampungannya di Yerusalem sekitar tahun 1700, tetapi tiba-tiba rabi itu meninggal, sehingga massa Arab yang marah karena hutang-hutang yang belum dibayar, telah membinasakan rumah doa Yahudi (sinagog) yang dibangun rombongan Yahudi itu. Kemudian semua pendatang Yahudi dari Eropa yang disebut Yahudi Ashkenazy dilarang tinggal di Yerusalem. Rabi Luzatto dan Rabi Ben-Attar juga memimpin rombangan besar ke Palestina pada tahun 1740. Kemudian ada rombongan-rombongan dan individu lainnya yang datang dari Lithuania dan Turki dan beberapa negara lainnya di Eropa Timur.

Jumlah pendatang pada Abad ke-18 dan awal Abad ke-19 menjadikan kaum Yahudi kelompok penduduk terbesar pada tahun 1844. Penduduk-penduduk baru ini pada awalnya mengalami banyak kesulitan secara budaya dan ekonomi karena pada tahun 1800, korupsi, perang dan pengadministrasian Khilafah Ottoman begitu merusak jalannya ekonomi Palestina sehingga populasinya turun hingga 200.000 orang.

Lalu pada tahun 1880’an, Palestina sudah mulai pulih, walaupun tetap miskin dengan banyak penyakit, populasinya berkembang menjadi 450.000. Yerusalem, pada waktu itu, hanya kota kecil yang berpenduduk 25.000 dengan 13.000 orang Yahudi dan 12.000 orang Arab dan Turki.

Usaha pertama membangun perkampungan Petah Tikva dalam tahun 1878 gagal tetapi kemudian berhasil dibangun. Waktu itu pemerintahan Ottoman tidak terlalu mentolerir pendatang-pendatang baru, khususnya mereka yang tetap mempertahankan kewarganegaraan asing, dan sewaktu-waktu pemerintah itu telah membatasi para imigran. Masalahnya ialah kalau menjadi warga negara Ottoman bisa saja disuruh ikut program wajib militer. Kependudukan waktu itu tidak terlalu stabil karena dampak penyakit, kemiskinan dan pengangguran tinggi sehingga banyak meninggal atau berangkat.

Gelombang-gelombang besar pemulangan kaum Yahudi, yang mulai pada tahun 1882, telah berlanjut di sepanjang Abad ke-20. Sebelum tahun 1890’an ada berbagai usaha untuk kaum Yahudi memperluas perkampungannya dan menduduki seluruh wilayah Palestina. Pada akhir tahun 1890’an dalam zaman Khilafah Ottoman jumlah penduduk Palestina mencapai sekitar 520.000 orang, mayoritas Arab Muslim dan Arab Kristen, namun di antaranya ada sekitar 125.000 orang Yahudi.

Pogrom-pogrom di bawah para Kaisar Rusia mendorong para filanthropis (donatur) seperti Montefiores dan keluarga Rothschild untuk mensponsori perkampungan pertanian untuk orang-orang Yahudi dari Rusia pada akhir 1870’an. Ini menjadi realita pada tahun 1882. Dalam sejarah Sionisme ini disebut sebagai Aliyah Pertama. Aliyah adalah kata bahasa Ibrani dengan arti "mendaki," yang mempunyai arti secara rohani “mendaki” atau pulang ke Tanah Kudus.

Migrasi Massal Arab ke Palestina dalam Abad ke-20

Pada awal abad ke-20, populasi Yudea dan Samaria yang kini disebut “Tepi Barat” berpenduduk kurang dari 100.000 orang, dan mayoritasnya adalah orang Yahudi. Waktu akhir perang kemerdekaan Israel pada tahun 1951, Gaza hanya memiliki 80.000 penduduk Arab dan orang Yahudinya sangat sedikit. Dalam 50 tahun sampai tahun 2001 jumlah penduduk Arab di Gaza meningkat drastis menjadi lebih dari 1 juta orang karena imigrasi besar-besaran. Di antara tahun 1948 sampai 1967 Gaza ada di tangan Mesir dan Tepi Barat ada di tangan Yordan sehingga terjadi promosi besar-besaran untuk mengisi Gaza dan Tepi Barat dengan sebanyak mungkin orang Arab dari setiap negara Arab tetapi terutama dari Mesir, Siria, Libanon, Irak dan Yordan.

Lebih dari 250 perkampungan Arab didirikan di daerah Judea and Samaria (Tepi Barat) saja. Dalam kerja sama dan dalam usaha menciptakan perdamain lewat perkembangan ekonomi pemerintah Israel telah mengizinkan 240.000 orang Arab masuk dengan izin kerja tetapi mereka telah tinggal tetap dan tidak mau kembali ke negara asal. Setelah mereka menetap lebih dari dua tahun mereka digolong oleh PBB sebagai “orang Palestina” apapun negara Arab asal mereka dan tanpa harus ada dokumentasi. Dengan demikian jumlah “orang Palestina” membludak!

Pada periode itu Arab Saudi telah mengusir lebih dari sejuta orang Arab yang kewarganegaraannya bukan Saudi dan tidak jelas asalnya dan banyak dari mereka kemudian pindah ke Gaza dan Tepi Barat.

Imigrasi massal Arab ke Palestina merupakan reaksi terhadap perkembangan Sionisme dan lahirnya kembali Negara Israel. Dulu Palestina adalah daerah padang pasir, tandus, dengan banyak penyakit, dan hampir tidak ada orang Arab yang mau tinggal di sana, tetapi setelah ada Israel dan padang pasir Palestina menjadi taman buah dan bunga, semua Arab telah menginkannya. Israel telah menjadi ancaman terhadap keadaan sosial, kebudayaan, politik, ekonomi dan agama untuk agama Islam sehingga mobilisasi massal Arab telah mulai.

Ketinggian Golan

Dalam sejarah Israel, Ketinggian Golan adalah bagian warisan suku Manasye, sejak 3500 tahun yang lalu. Pada zaman Yesus, 2000 tahun lalu, daerah itu disebut sebagai bagian Yudea wilayah jajahan Roma.

Dari tahun 1850 sampai 1920, banyak tanah di Ketinggian Golan dibeli oleh rombongan-rombangan Yahudi untuk mendirikan perkampungan-perkampungannya di situ. Tetapi pada tahun 1920 perkampungan-perkampungan itu diserang oleh gerombolan Arab sehingga banyak orang Yahudi dibunuh dan sisanya melarikan diri.

Pada tahun 1967, Israel merebut kembali Ketinggian Golan dari Siria sebagai tindakan bela diri dan sudah dikontrol Israel selama 40 tahun sejak perang itu. Pada tahun 1981 Ketinggian Golan menjadi bagian resmi Negara Israel.

Siria hanya pernah berkuasa di daerah Golan selama 26 tahun dari kemerdekaannya pada tahun 1941 sampai ke Perang Enam Hari pada tahun 1967.

Bagaimana selanjutnya? Apa nanti kesudahannya? Baca artikel berikutnya dan belajar apa sebenarnya di belakang konflik Timur Tengah.

(Dr. Jeff Hammond)

Artikel ini merupakan sambungan dari Keadaan Kaum Yahudi & Kaum Arab di Palestina di Zaman Ottoman (1517-1917)

Bersambung ke Berbagai Gerakan Sionisme (1862 - 1917)

Sumber

8 Keadaan Kaum Yahudi

Seri artikel ini membawa kita lebih dekat kepada generasi kita, maka semakin penting untuk kita mengetahui keadaan Palestina menjelang daerah itu menjadi rebutan dan pemicu berbagai perang yang telah menghantui dunia selama 100 tahun sampai sekarang. Salah satu pertanyaan kunci adalah apakah orang Israel berhak berada di Palestina? Menurut Presiden Iran, Ahmadinejad, Israel harus diusir sebagai penjajah yang tidak mempunyai hak sama sekali untuk mendiami Tanah Palestina. Apa benar Israel penjajah ataukah justru Israel-lah yang memiliki hak mutlak atas Palestina sebagai satu-satu suku penduduk negeri tersebut yang secara permanen, selama ribuan tahun menghuni dan mengolah tanah tersebut?

Bangsa Yahudi di Palestina selama 3500 tahun secara permanen

Fakta sejarah menunjukkan bahwa bangsa Israel, terutama ‘Kerajaan Yehuda’ adalah satu-satunya suku bangsa yang secara permanen telah mendiami tanah Palestina, tanpa putus, selama 3500 tahun sejak nabi Musa membawa Israel ke perbatasan Kanaan lalu Yosua dan Kaleb memimpin Israel masuk dan menguasai seluruh negeri itu.

Di dalam artikel-artikel sebelumnya kita sudah melihat banyak bukti eksistensi Israel di Palestina. Dalam artikel ini kita akan melihat pula berbagai bukti dari sejarah modern, yaitu dari zaman Ottoman sampai 90 tahun yang lalu bahwa mayoritas penduduk Palestina selama sejarah, selamanya orang Yahudi.

Ada banyak sumber Arab yang mengkonfirm fakta bahwa mayoritas penduduk Palestina selama zaman pemerintahan Arab adalah orang Yahudi. Biasanya fokus kita adalah pada Diaspora, yaitu orang-orang Yahudi yang tersebar di berbagai bangsa Timur Tengah dan Eropa sejak zaman pemerintahan Roma/ Bizantin.

Pada tahun 985 penulis Arab, Muqaddasi, telah mengeluh bahwa di Yerusalem mayoritas besar penduduk adalah Yahudi, lalu dia berkata bahwa "masjid sudah kosong, tidak ada yang bersolat...". Dalam kesaksian Ibn Khaldun, salah satu sejarahwan yang paling terkenal telah menulis pada tahun 1377:

"Kedaulatan Yahudi di Tanah Israel telah berlangsung lebih dari 1400 years... Itulah orang Yahudi yang menanam kebudayaan dan adat istiadat di perkemahan permanen".

Selanjutnya setelah 300 tahun pemerintahan Arab di Tanah Suci, Ibn Khaldun mengakui bahwa kebudayaan dan tradisi Yahudi tetap dominan. Itu adalah fakta sejarah bahwa sampai waktu itu sama sekali tidak ada bukti hadirnya kebudayaan atau perkampungan bahwa yang masa kini disebut “orang Palestina” sudah berakar di daerah Palestina. Ingatlah bahwa orang Palestina masa kini adalah campuran keturunan Arab dari berbagai bangsa Arab yang bersumber di Yaman.

Ahli sejarah Timur Tengah, James Parker menulis: "Selama abad pertama penjajahan Palestina oleh tentara Arab [670-740], kalif dan gubernor Suria dan Palestina memerintah atas penduduk yang hampir seluruhnya adalah Kristen dan Yahudi. Selain beberapa Bedouin (suku Arab yang suka mengembara) pada awal penjajahan itu, semua orang keturunan Arabs yang di sebelah barat sungai Yordan adalah benteng-benteng tentara".

Walaupun tentara Arab berkuasa di Palestina dari 640 sampai 1099, mereka tidak pernah menjadi penduduk mayoritas. Selama masa itu mayoritas penduduk adalah Kristen (suku bangsa Asyur dan Armenia) dan orang-orang Yahudi.

Selain dokumen-dokumen sejarah, kesaksian-kesaksian dalam penulisan para saksi mata dan pernyataan-pernyataan para sejarahwan Arab yang paling terkenal yang mendukung fakta orang Yahudi adalah penduduk utama dan mayoritas di Palestina, kita dapat baca juga dalam Al-Qur’an, Surah 17:104, bahwa penduduk Palestina adalah bangsa Yahudi dan Allah berkata kepada mereka: "Tinggal dengan aman di Tanah Perjanjian.”

Apa benar Israel hanya ‘kembali’ ke Palestina di masa modern?

Begitu sering waktu membahas kembalinya bangsa Yahudi ke Tanah Airnya ada anggapan umum bahwa mereka kembali setelah 2000 tahun tidak lagi berada di Palestina. Walaupun benar bahwa mayoritas bangsa Israel telah hidup dalam pengasingan, namun hal itu tidak benar untuk semuanya. Tidak benar untuk asumsikan bahwa seluruh bangsa Yahudi telah meninggalkan Palestina malah bangsa Yahudi hampir di sepanjang 2000 tahun itu tetap merupakan mayoritas penduduk lokal.

Pengasingan panjang yang dikenal sebagai Diaspora, adalah fakta yang dicatat secara luas dalam sejarah dan merupakan bukti bahwa bangsa Yahudi mempunyai hak milik sah atas Tanah Israel. Diaspora itu adalah akibat perjuangan bangsa Yahudi untuk dimerdekakan dari kuk perhambaan dan penjajahan Romawi. Kalau yang disebut "bangsa Palestina" masa kini benar-benar adalah penduduk historis Tanah Suci, mengapa bukan mereka yang berjuang melawan penjajah, bangsa Roma seperti dilakukan bangsa Yahudi? Kenapa tidak ada satu pemimpin ‘Palestina’ atau satu pasukan ‘Palestina’ yang disebut dalam semua catatan sejarah dalam perang kemerdekaan terhadap bangsa penjajah? Kenapa hanya perjuang Yahudi yang disebut sebagai pelawan penjajahan Romawi itu? Kenapa semua dokumen historis menyebut penduduk wilayah Palestina sebagai penduduk asli dan orang-orang Yunani, Romawi dan orang-orang lainnya sebagai orang asing dan tidak pernah menyebut adanya ‘bangsa Palestina’?

Setelah Perang Kemerdekaan Yahudi terakhir pada Abad Kedua Kaisar Roma, Hadrian, membumihanguskan kota Yerusalem pada tahun 135 dan mengubah namanya menjadi Ælia Capitolina, dan nama Yudæa menjadi Palæstina, dalam usahanya menghapuskan identitas Yahudi dari permukaan Bumi! Mayoritas Yahudi diusir dari Tanah Airnya oleh tentara Romawi, fakta sejarah yang memicu Diaspora.

Namun demikian, banyak kelompok kecil Yahudi telah berhasil bertahan di dalam provinsi Roma yang diberi nama ‘Palestine’, dan keturunan mereka telah tinggal tetap di Israel turun-temurun dan sedikit demi sedikit ada yang dari Diaspora itu yang kembali bergabung sampai Abad ke-19 pada waktu perintis-perintis Zionisme mulai membuat gerakan pemulangan massal yang telah mulai pada Abad ke-19 lalu menjadi banjir pada waktu Abad ke-20 untuk luput dari penganiayaan Hitler di Jerman dan Lenin dan Stalin di Russia.

Oleh sebab itu, klaim Yahudi sebagai pemilik Tanah Israel sungguh dibenarkan oleh beberapa fakta:

a. Janji Allah di dalam Alkitab bahwa Tanah itu diberikan kepada bangsa Israel.

b. Peneguhan dalam Al-Qur’an bahwa Tanah itu sah diduduki bangsa Israel.

c. Bukti-bukti sejarah bahwa satu-satunya kelompok etnis yang menduduki wilayah Palestina itu secara permanen di sepanjang 2000 tahun itu adalah kelompok etnis Yahudi.

Berabad-abad lamanya dan di bawah penjajah yang berbeda-beda orang Yahudi Palestina tidak tunduk kepada tekanan integrasi dan asimilasi dengan kaum penjajah tetapi telah mempertahankan identitasnya sendiri secara suku, agama, kebudayaan dan hubungannya dengan bangsanya sendiri yang tersebar di berbagai bangsa Timur Tengah lainnya. Arus aliran Yahudi Mizrachim (Oriental) dan Yahudi Sephardim (Mediterranean) ke Tanah Suci telah membantu populasi Yahudi bisa bertahan selama ribuan tahun itu. Kepenghunian wilayah Palestina oleh orang Yahudi telah mendahului kedatangan tentara Arab lebih dari 2000 tahun dan juga selama 600 tahun setelah awal Diaspora sebelum orang-orang Arab mulai menguasai pemerintahan wilayah itu.

Walaupun kota Yerusalem menjadi wilayah terlarang untuk orang-orang Yahudi beberapa kali (mis. penjajah Romawi melarang semua orang Yahudi dari kota Yerusalem), namun banyak telah tinggal di dalam desa-desa dekat Yerusalem bahkan di seluruh Tanah Suci. Komunitas Yahudi telah berkembang di Bukit Sion namun pada masa pemerintahan Roma dan Byzantin masyarakan Yahudi dianiaya dan dilarang memasuki wilayah Bukit Moriah di lokasi Bait Suci dulu berdiri. Pada waktu Sassanid Persia menguasai Yerusalem pada tahun 614 mereka menjadi sekutu orang-orang Yahudi lokal, tetapi lima tahun kemudian Yerusalem dikuasai kembali oleh pemerintah Byzantin, tetapi waktunya singkat saja sebab pada tahun 638 Yerusalem direbut oleh Kalif Omar. Itulah saat pertama dalam sejarah bahwa seorang pemimpin Arab pernah masuk kota Yerusalem, dan penduduknya pada waktu itu adalah non-Arab, yaitu orang Yahudi, orang Asyur, orang Armenia, orang Yunani dan masyarakat Kristen lainnya.

Setelah beberapa abad penjajahan dan penganiayaan di tangan Roma-Byzantine, masyarakat Yahudi telah menyambut baik kedatangan tentara Arab karena mereka telah mengharapkan bahwa keadaan mereka akan lebih baik di bawah p[emerintahan Arab. Jadi, sudah dicatat dalam sejarah Arab-Islam bahwa mereka menemukan mayoritas penduduk Yerusalem dan wilayay sekitarnya adalah orang-orang Yahudi. Ternyata orang-orang Palestina asli tidak lain daripada bangsa Yahudi! Penduduk kota-kota yang sekarang disebut Ramallah, Yerikho dan Gaza pada waktu itu sudah hampir 100% Yahudi. Tentara Arab, yang belum memilik nama untuk wilayah itu telah mengadopsi nama bahasa Latin, yaitu Palæstina, lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab sebagai Falastin.

Para imigran Arab pertama yang mulai tinggal tetap di wilayah Palestina sebenarnya juga adalah orang-orang Yahudi yaitu suku Nabatean yang masuk agama Yahudi. Sebelum bangkitnya agama Islam, kota-kota di Arab yang sangat berkembang seperti Khaybar dan Yathrib (sekarang Madinah) adalah kota-kota mayoritas Yahudi Nabatean. Bilamana ada kelaparan di Palestina, para pedagang pergi ke Khaybar karena orang-orang Yahudi selalu punya makanan, buah, dan mata airnya adalah sumber kaya air.

Setelah kaum muslim menguasai semenanjung Arabia, kekayaan itu menghilang; lalu terjadi pembunuhan massal masyarakat Yahudi, lainnya mengungsi ke kota-kota lainnya, khususnya di Yerikho dan Dera’a di pinggir sungai Yordan.

Para kalif Arab (Umayyad, Abbasid dan Fatimid) telah berkuasa di Tanah Suci sampai tahun 1071, waktu Yerusalem dikuasai tentara Turki Seldjuq, dan setelah itu, sampai sekarang, selama 936 tahun, wilayah Israel tidak pernah lagi dikuasai pemerintahan Arab. Jadi ada klaim atau hak apa bahwa tanah itu milik mereka atau sudah diambil dari mereka? Hal ini bertentangan dengan semua fakta sejarah!

Selama periode itu, suku-suku Arab hampir tidak pernah mendirikan struktur sosial atau penghunian permanen. Waktu wilayah itu dikuasai tentara Arab (638-1071) mereka hanya memerintah atas para penduduk asli yang non-Arab, yaitu penduduk-penduduk Yahudi dan Kristen.

Kedatangan Laskar Perang Salib Eropa pada tahun 1099 telah menguasai wilayah Palestina dan mendirikan suatu kerajaan independen yang tidak pernah menghasilkan identitas nasional lokal. Itu hanya merupakan wilayah jajahan dari Eropa. Para Laskar Salib pun telah menganiaya masyarakat Yahudi bahkan telah berusaha dengan kasar dan kejam untuk menghapus semua ekspresi kebudayaan Yahudi. Orang Yahudi dianggap pembunuh Mesias sehingga juga dianggap musuh Kristen. Pada tahun 1187, masyarakat Yahudi bergabung aktif dengan Salah-ud-Din Al'Ayyub (Saladin) untuk melawan Tentara Salib dalam usahanya menguasai kota Yerusalem. Saladin, yang adalah Jenderal Muslim terhebat bukan orang Arab tetapi seorang Kurdi. Kemudian Kerajaan Ottoman (Turki) telah menguasai wilayah Palestina sampai tahun 1917.

Selanjutnya kita perlu melihat pertumbuhan Zionisme pada Abad ke-19 yang menghasilkan gerakan pemulangan secara massal orang-orang Yahudi ke wilayah Palestina, dan tekanan-tekanan yang kemudian menghasilkan Deklarasi Balfour dan akhirnya melahirkan kembali bangsa Israel.

Artikel ini merupakan sambungan dari Masa Khilafah Ottoman di Wilayah Palestina (1517-1917)

Bersambung ke Sejarah Sionisme dan Gerakan Pemulihan Israel (1700-1917)

Sumber

Masa Khilafah Ottoman di Wilayah Palestina

Semakin nyata dalam pembahasan tentang Khilafah Ottoman 1517-1917 bahwa inilah periode yang sangat berpengaruh atas latar belakang situasi Timur Tengah yang masa kini kian hari kian berbahaya. Oleh sebab itu, kita akan melihat dalam dua artikel tentang sejarah dan keadaan Palestina karena sejarah masa lampau adalah kunci memahami masa kini dan arah perjuangan berbagai pihak yang kini semakin nyata. Pembahasan ini tidak bermaksud menyerang satu atau lain pihak, sebaliknya untuk memeriksa fakta-fakta sejarah demi memahami dasar pergolakan Timur Tengah.

Pada tahun 1517 Yerusalem dan seluruh Tanah Suci dikalahkan dan dikuasai oleh Khilafah Ottoman yang berpusat di Turkey dan mereka berkuasa selama empat abad sampai tahun 1917, waktu tentara Inggris meraih Kota Yerusalem dan menetapkan yang disebut “Mandat Palestin”. Peristiwa itu telah menandakan berakhirnya Khilafah Ottoman, yang sampai tahun itu telah menjadi satu-satunya pemerintahan atas seluruh wilayah Arab dan atas setiap bangsa Arab. Mulai tahun 1917 bangsa-bangsa Arab mulai mengklaim otonomi dan kemerdekaannya sehingga masa kini ada 22 bangsa Arab yang independen dan berdaulat di Timur Tengah. Walaupun zaman itu sering disebut Zaman Emas Islam ternyata dampak positifnya hanya dirasakan di Palestina selama 50 tahun pertama pemerintahan Ottoman di Timur Tengah.

Nubuatan dan Kalkulasi Rabbi Judah Ben Samuel

Di akhir Abad ke-12, Rabbi Judah Ben Samuel telah menerbitkan hasil penyelidikan Alkibabiah, yang disebut Gematria bersama dengan perhitungan ilmu falak. Hasilnya di laporkan dalam majalah Israel Today, Nopember 2012. Ben Samuel mengatakan:

“Bilamana kaum Ottoman menguasai Yerusalem mereka akan memerintah di Yerusalem selama delapan Yobel (8 x 50 = 400 tahun). Setelah itu Yerusalem akan kembali menjadi wilayah yang tidak dimiliki siapapun selama satu Yobel (50 tahun), lalu pada Yobel kesembilan, Yerusalem akan kembali dimiliki oleh bangsa Yahudi dan ini akan menunjukkan awal akhir zaman yeng menunjukkan zaman Mesianik.”

Bahwa satu Yobel adalah 50 tahun dapat dibaca dalam Imamat 25:8-10, “Selanjutnya engkau harus menghitung tujuh tahun sabat, yakni tujuh kali tujuh tahun; sehingga masa tujuh tahun sabat itu sama dengan empat puluh sembilan tahun. Lalu engkau harus memperdengarkan bunyi sangkakala di mana-mana dalam bulan yang ketujuh pada tanggal sepuluh bulan itu; pada hari raya Pendamaian kamu harus memperdengarkan bunyi sangkakala itu di mana-mana di seluruh negerimu. Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya.”

Kalkulasi Ben Samuel mulai menjadi realita 300 tahun kemudian. Khilafah Mamluk telah menguasai Yerusalem sejak 1250, lalu dikalahkan pada tahun 1517 oleh Kerajaan Ottoman. Khilafah Ottoman benar berkuasa selama delapan Yobel (8 x 50 = 400 years), sampai tahun 1917, ketika Kerajaan Ottoman dikalahkan oleh Kerajaan Inggris. Awalnya tanah Yerusalem adalah bagian dari Mandat Inggris yang sesudah Perang Dunia Kedua, ditangani PBB sampai tahun 1967. Selama 50 tahun itu (1917-1967), Yerusalem dibagi dan tidak dikuasai siapapun.

Lalu pada waktu Israel merebut Yerusalem dalam Perang Enam Hari, 1967, tepat satu Yobel (50 tahun) setelah kekalahan Ottoman. Sejak tahun 1967 itu, Yerusalem telah dipimpin oleh negara Yahudi, Israel. Menurut Judah Ben Samuel, zaman Mesianik sebagai permulaan akhir zaman telah mulai.

Sultan Sulaiman Alqanuni merebut Yerusalem 1517

Pasca Perang Salib dan bangkitnya dominasi Islam di seluruh Timur Tengah oleh Khilafah Abbuyid dan Mamluk, telah muncul suatu kekuatan baru yang berpusat di Istambul (dulu Konstaninopel) sehingga pada tahun 1517 Yerusalem jatuh ke tangan Khilafah Ottoman yang akan berkuasa di seluruh Timur Tengah sampai 1917. Khilafah Ottoman akhirnya dikalahkan oleh Attaturk yang telah menjadi Presiden pertama Turkey modern yang telah menjadikan Turkey bangsa sipil dengan Islam sebagai agama utama di antara beberapa agama lainnya.

Walaupun Khilafah Ottoman telah sangat menghargai Mesjid Al Aqsa dan Mesjid Kubah Al-Saqra sebagai tempat terhormat ketiga dalam agama Islam, namun Sultan Sulaiman tidak menganggap Yerusalem cocok untuk menjadi ibukota wilayah itu.

Limapuluh tahun pertama kepemimpinan Ottoman adalah masa kemakmuran di Yerusalem, sebagaimana di seluruh kedaulatan Turkey. Di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Alqanuni, mencapai puncak pemulihannya secara budaya, ekonomi dan militer. Pada tahun 1532 sistem perairan diperbaiki dan di antara 1538 dan 1541, setelah 320 tahun, tembok Yerusalem diperbaiki dan dibangun kembali. Inilah tembok-tembok yang masih ada di keliling Kota Tua Yerusalem sampai hari ini. (Lihat sejarah itu dengan lebih lengkap di buku yang diedit Nitza Rosovsky; City of the Great King: Jerusalem from David to the Present; Harvard University Press: Cambridge, 1996; hal.25.)

Pemulihan Tembok Yerusalem dilakukan karena tentara Ottoman takut tentara Mamluk mau berusaha merebut kembali Kota Yerusalem. Selain itu Sultan Sulaiman telah memperindah Kubah Al-Saqra dengan tehel-tehel berwarna hijau dan biru yang terbaik dari Persia. Namun setelah zaman Sultan Sulaiman Alqanuni, keadaan Yerusalem dan seluruh wilayah Palestina dibiarkan. Ekonominya menurun drastis, penduduknya mengungsi ke Suria, Libanon dan Mesir, dan wilayah itu kembali menjadi wilayah yang sangat sunyi. (Sejarah zaman itu dapat diselidiki lebih jauh dalam buku oleh Idinopulos, Thomas A.; Jerusalem Blessed, Jerusalem Cursed; Ivan R. Dee: Chicago; 1991.)

Bagaimana Keadaan Palestina 1517-1917?

Kesaksian para sejarahwan telah mencatat keadaan wilayah Palestina selama 400 tahun dominasi pemerintahan Ottoman sebagai masa yang sepi. Pada tahun 1590 seorang Inggris yang berkunjung ke Yerusalem telah menulis:

“Tidak ada apa-apa yang kelihatan selain sebagian tembok-tembok tua, yang lain hanya rumput, jamur dan jerami.” (Gunner Edward Webbe, Palestina Exploration Fund, Quarterly Statement, p. 86; de Haas, History, p. 338+).

“Tanah Palestina kekurangan orang untuk mengolah tanahnya yang subur”. (Arkeolog Inggris, Thomas Shaw, pertengahan 1700’an.)

“Palestina adalah tanah yang hancur dan sunyi”. (Count Constantine François Volney, sejarahwan dan penulis Perancis, Abad Ke-18.)

“Penduduk Arab sendiri hanya dapat dianggap penduduk sementara. Mereka memasang kemahnya di ladang rumput atau membangun pondoknya di antara reruntuhan kota-kota. Mereka tidak membangun apa-apa yang tetap. Karena mereka adalah orang asing di negeri ini mereka juga tidak menguasai keadaannya. Angin padang gurun yang membawa mereka ke sini juga satu hari akan membawa mereka ke lain tempat tanpa meninggalkan tanda apapun waktu mereka melewati daerah ini.” (Catatan Gereja tentang Suku Arab di Palestina pada tahun 1800’an.)

“Daerah itu sangat sunyi, dan kami telah jalan di antara berbagai air terjun yang tidak lagi ada air. Kami tidak melihat binatang-binatang yang bergerak di antara batu-batuannya; mungkin kami juga tidak melihat lebih dari 12 ekor burung di sepeanjang perjalanan.” (William Thackeray dalam “From Jaffa To Jerusalem”, 1844).

“Seluruh negeri sudah hampir kosong dari penduduk dan karenanya sangat memerlukan sejumlah besar penduduk.” (James Finn, British Consul, 1857).

“Tidak ada satu desa pun di sepanjang lembah Jizreel, Galilea; tidak ada sejauh tigapuluh kilometer dalam tiap arah... Seorang dapat jalan 16 km dari sini dan tidak melihat sampai 10 orang. Kalau mau mencari kesunyian yang akan melelahkan, datanglah ke Galilea. ... Keadaan Nazaret sungguh menyedihkan ... Yerikho adalah puing-puing yang berjamur ... Betlehem dan Betania, dalam kemiskinan dan kehinaannya ... tidak berpenduduk makhluk yang hidup ... Suatu negeri yang sunyi-senyap yang walaupun tanahnya cukup subur, namun hanya dipakai semata-mata untuk rumput dan jerami ... suatu tempat yang sunyi dan memilukan ... Kami tidak melihat seorang manusia di sepanjang perjalanan ... Hampir saja tidak ada pohon ataupun semak. Bahkan pohon-pohon zaitun dan kaktus, teman setia kepada tanah yang tak berharga juga sudah hampir melarikan diri dari negeri ini ... Wilayah Palestina seolah-olah duduk dalam kain kabung dan abu ... sunyi dan tidak indah”. (Mark Twain, “The Innocents Abroad”, 1867.)

“Ada banyak bukti, seperti reruntuhan masa lampau, terowongan air yang patah dan pecah, dan sisa-sisa jalan-jalan yang lama, yang menyatakan bahwa daerah ini tidak selamanya kosong seperti sekarang. Dalam lembah antara Bukit Karmel dan Jaffa jarang sekali kelihatan desa atau tanda manusia masih hidup di sini. Ada beberapa pabrik gilingan sederhana yang menggunakan tenaga air sungai. Perjalanan naik kuda selama setengah jam membawa kami ke peninggalan puing-puing kota Kaisaria, yang dulu berpenduduk 200.000 orang, ibu kota Palestina di zaman Romawi, tetapi sekarang sunyi total.” (B. W. Johnson, dalam “Young Folks in Bible Lands”: Chapter IV, 1892.)

Catatan para musafir dan peziarah sepanjang Abad Ke-16 sampai Abad Ke-19 telah memberi kesaksian yang serupa, termasuk nama-nama terkenal seperti Alphonse de Lamartine, Sir George Gawler, Sir George Adam Smith, Siebald Rieter, Pastor Michael Nuad, Martin Kabatnik, Arnold Van Harff, Johann Tucker, Felix Fabri, Edward Robinson dll. Semuanya telah menemukan tanah Palestina sunyi dan hampir kosong sama sekali, selain beberapa Arab Beduin yang mengembara sini-sana dan sejumlah pedesaan Yahudi di Yerusalem, Shekhem, Hebron, Haifa, Safed, Irsuf, Kaisaria, Gaza, Ramleh, Acre, Sidon, Tzur, El Arish, dan beberapa desa di Galilea, yaitu: Ein Zeitim, Pekiin, Biria, Kefar Alma, Kefar Hanania, Kefar Kana dan Kefar Yassif. Bahkan Napoleon I Bonaparte, setelah berkunjung ke Tanah Suci menyatakan wilayah itu sangat memerlukan penduduk.

Napoleon pernah membahas kemungkinan pemulangan Yahudi secara massal ke negerinya sendiri dari Eropa. Dia ingin mengatasi masalah Yahudi di Eropa dan dia mengakui bahwa Palestina adalah negeri asal Yahudi, bahkan adalah negeri milik Yahudi. Pengalaman kunjungannya ke sana tidak memberi kesan kepada Napoleon bahwa negeri Palestina dihuni, diduduki, dikuasai ataupun dipimpin kaum Arab dan selama berabad-abad tidak pernah didengar suara yang mengklaim tanah itu sebagai hak orang Arab Palestina. Sebaliknya Napoleon telah menyaksikan bahwa mayoritas penduduk Palestina pada zamannya adalah masyarakat Yahudi, bukan Arab. (Green, Elliott, A., The Land of Israel and Jerusalem in 1900.)

Karl Marx juga mencatat bahwa mayoritas penduduk Palestina pada pertengahan Abad Ke-19, adalah Yahudi (New York Tribune 04-15-1854).

Penulis Perancis, Gérardy Santine, yang menerbitkan bukunya tentang keadaan Yerusalem pada tahun 1860 (Trois ans en Judée, 1860), telah menulis bahwa masyarakat Yahudi “adalah lebih separuh penduduk Kota Kudus,” yaitu pada tahun 1860 itu.

Laporan Komisi Kerajaan Inggris, 1913

“Seluruh wilayah kekurangan penduduk sehingga tidak maju secara ekonomi sampai kedatangan pelopor Zionis pada tahun 1880’an, yang datang untuk membangun kembali tanah Yahudi itu. Negeri itu telah lama mempertahankan statusnya sebagai “Tanah Suci” dalam kesadaran agama, sejarah dan hati nurani manusia, yang telah mengkaitkannya dengan Alkitab dan sejarah masyarakat Yahudi. Dengan perkembangan yang dilakukakan kaum Yahudi baru maka telah mulai terjadi imigrasi baru pula, baik Yahudi maupun Arab. Jalan dari arah Gaza ke utara hanya merupakan jalan sempit yang hanya cocok untuk transportasi dengan unta atau gerobak. ... Semua rumah dibuat dari lumpur. Tidak ada jendela yang kelihatan ... Bajak dorongan yang dipakai dibuat dari kayu saja ... Hasil pertanian sangat minim ... Keadaan kesehatan dan kebersihan (MCK) di desa [Yabna] sangat parah ... Sekolah-sekolah tidak ada ... Angka kematian anak-anak sangat tinggi ... Bagian barat, ke arah laut, sudah hampir menjadi padang pasir ... Desa-desa di daerah itu sangat sedikit dan hanya sedikit penduduknya. Banyak reruntuhan desa-desa terlihat di berbagai tempat, dan karena banyak malaria, banyak desa lain ditinggalkan penduduknya”.

Demikianlah keadaan Palestina pada akhir Zaman Khilafah Ottoman. Hanya 50 tahun pertama dari 1517 sampai 1567 Palestina telah menikmati zaman emas itu lalu selama 350 tahun berikutnya, tanah Palestina telah melarat, menjadi sunyi, kosong dan miskin yang tidak disenangi. Tetapi dengan terjadi Perang Dunia Ke-I dan rubuhnya Khilafah Ottoman semua keadaan itu segera akan berubah. Palestina-Israel akan menjadi tanah yang dicari bahkan direbut dan hal itu akan menjadi bahan pembahasan berikut.

Apakah tanah itu disimpan dalam keadaan kosong oleh Tuhan sebagai persiapan penggenapan janji Firman-Nya? Baca dan fahamilah Yehezkiel 36:24, “Aku akan menjemput kamu dari antara bangsa-bangsa dan mengumpulkan kamu dari semua negeri dan akan membawa kamu kembali ke tanahmu.”

Artikel ini merupakan sambungan dari Palestina Pasca Perang Salib & Masa Kedaulatan Islam (1187-1516 M)

Bersambung ke Keadaan Kaum Yahudi & Kaum Arab di Palestina di Zaman Ottoman (1517-1917)

Sumber

Kehendak Allah untuk Pernikahan

“Kehendak Allah untuk pernikahan” ? Mmm..yah...supaya kita bahagia..!?

Mmm....supaya bumi ini tidak kosong...!? atau....mmm...supaya tidak jatuh dalam dosa percabulan...!? ....mmm...mungkin untuk soal ini Allah tidak punya rencana khusus...kan ini masalah privacy....bukankah begitu??

Ya...pasti jawabannya...BUKAN!

Uh...daripada bingung kita wawancara langsung aja pengantin pertama di dunia, tahu siapa mereka? Yup...betul...Adam dan Hawa...

Berikut di bawah ini adalah wawancara imajiner yang berdasarkan Kejadian 1-3

Reporter : Selamat pagi...bapak dan ibu Adam...maaf mengganggu...

Adam : Ya...tidak apa-apa...silahkan, apa yang bisa kami bantu? Anda siapa ...yah?

Reporter : Oh...yah, perkenalkan saya adalah reporter majalah bulanan BUILD yang sedang mencari bahan untuk laporan kami dalam artikel “God’s Will for Marriage”. Di jaman kami banyak sekali anak-anak muda yang bingung ...mmm...bahkan yang sudah menikah....juga...yang sudah lama menikah, masih sering bertanya-tanya...”apa sebenarnya Kehendak Allah dalam pernikahan mereka”.. Jadi daripada kami mencari-cari dari sumber yang gak jelas, kami mencoba kembali ke masa lalu dan mencari informasi dari bapak dan ibu Adam yang tercatat sebagai pengantin yang pertama di dunia ini.

Adam : Oh...yaya...kasihan juga yah...ok silahkan...

Reporter : Pertama-tama kami mau bertanya, sejak kapan bapak Adam dan ibu Hawa merencanakan pernikahan ini?

Adam dan Hawa saling berpandangan dengan heran..

Hawa : Kami tidak pernah merencanakan pernikahan ini...

Reporter : (terkejut) Ooo...jadi Anda sudah terlanjur hamil dulu baru terpaksa menikah tanpa rencana..?

Hawa tepok jidat..

Adam : Bukan..begitu maksudnya...Kami...eh...tepatnya saya, karena kan saya yang lebih dahulu diciptakan Allah baru istri saya ini. Sejak pertama kali saya ada di dunia ini, tidak pernah ada pikiran untuk menikah...

Reporter : (terkejut) jadi..awalnya Anda rencana selibat (melajang) atau pernah patah hati jadi trauma menikah...?

Giliran Adam yang tepok jidat...

Adam : walaaah...Anda ngerti apa tidak sic...kan saya itu manusia pertama yang Allah ciptakan di dunia ini, mana mungkin pernah jalin hubungan asmara sama orang lain? Lagipula saya sudah punya tugas penting yang harus dijalankan dalam hidup di dunia ini.

Reporter : Pak...semua orang di jaman saya juga punya tugas penting dalam hidupnya, tapi kan tetap saja ada kebutuhan untuk bisa mengasihi dan dikasihi. Kan pak Adam bisa kering ...donk...gak ada siapa-siapa lagi di dunia ini yang bisa mengasihi bapak dan bapak kasihi...

Adam : Oooo...kalau itu yang dimaksud, saya punya sejak ada di dunia ini...

Reporter : Tuh...kan,... akhirnya ngaku juga...ada kan wanita lain yang pernah mengisi hidup bapak sebelum bertemu dengan ibu Hawa...

Adam : Bukan itu... bukan manusia yang bisa saya kasihi dan mengasihi saya dengan full..

Reporter : Hahh...masa sic...bapak Adam dengan simpanze itu?

Adam : Bukan...tapi dengan Allah sendiri, cukup hanya bergaul dengan DIA saat itu saya bisa terpenuhi kebutuhan emosional saya..saya bisa mengasihi DIA dan DIA bisa mengasihi saya.

Reporter : Ooo...gitu yah.. Nah, kalau sudah bisa puas dengan Allah, kenapa akhirnya ada manusia lain yang diberikan Allah kepada pak Adam?

Adam : Nah, jadi ceritanya gini, waktu itu Allah sudah ciptakan bumi, langit, cakrawala, benda-benda langit, tumbuhan dan hewan-hewan KECUALI hewan yang tinggal di darat dan manusia.

Reporter : Ya...saya ingat, setelah itu kan di hari keenam Allah menciptakan manusia dan binatang-binatang darat, bukan..

Adam : Ya, betul, tapi kamu perlu tahu, bahwa panjang waktunya “HARI” bagi Allah beda dengan harinya manusia kita sekarang. Jadi 1 harinya Allah lebih panjang waktunya daripada 1 harinya manusia (baca di 2 Petrus 3:8). Nah, saya diciptakan Allah sebagai ciptaan yang pertama di hari keenam itu, kemudian saya di tempatkan di Taman Eden.

Reporter : Trus...tugas pentingnya apa yang harus bapak lakukan sejak ada di dunia ini?

Adam : Tugasnya adalah untuk mengusahakan dan memelihara taman Eden (Kej 2:15). Tugas ini berat karena saya juga harus memberi nama kepada semua hewan-hewan yang sudah ada waktu itu, yaitu semua jenis hewan yang di udara dan yang di laut. Tapi sekalipun berat, saya tetap bisa lakukan itu dengan sukacita dan semuanya bisa berjalan dengan lancar.

Reporter : Wah...repot juga, yah...bagaimana nanti kalau Allah sudah tambahkan hewan-hewan yang hidup di darat...apa bapak sanggup lakukan itu?

Adam : Tentu tidak sanggup, kalau Allah sudah tambahkan juga hewan-hewan darat yang harus saya beri nama.

Reporter : Wah...ternyata Allah kejam juga yah...sudah tahu bapak sudah dibatas kemampuannya ...eh,..masih diberi tugas tambahan..

Adam : Ooo...tidak begitu, kawan...Justru sebelum Allah ciptakan hewan-hewan darat itu dan membawanya kepada saya. Dia terlebih dahulu yang memikirikan semua kebutuhan saya, termasuk kebutuhan seorang penolong (baca deh...pikiran Allah di Kejadian 2:18). Karena Allah lebih tahu kebutuhan kita daripada diri kita sendiri, dan IA yang menyiapkan penolong bagi kita di saat yang tepat, yaitu saat kita membutuhkannya.

Reporter : Ooo...jadi kalau sampai sekarang Allah belum pertemukan saya dengan pasangan hidup saya, itu artinya saya masih belum membutuhkannya, gitu yah?

Adam : Ya...tepat 100%!

Reporter : Tapi kalau baca di kitab Kejadian 2:19, bukankah akhirnya Allah berikan tugas tambahan itu kepada pak Adam, padahal ibu Hawa belum diciptakan. Apakah bapak tidak jadi galau karena memerlukan penolong yang bisa menjadi partner bapak menyelesaikan tugas dari Allah ini?

Adam : Ya,...saya memang galau saat itu, di Kejadian 2:20 mencatat kekagaluan saya...saya coba cari penolong itu dari hewan-hewan yang sudah diciptakan Allah...tapi tidak ada satupun yang sesuai dengan kriteria-kriteria yang saya tetapkan..

Reporter : Wah...senasib dengan saya, pak...saya juga tuh, bolak-balik di mana-mana berusaha cari pasangan hidup yang cocok dengan kriteria yang saya buat, gak dapat-dapat...jadi galau deh.. Jadi kapan bapak baru dipertemukan Allah dengan ibu Adam?

Adam : Setelah bangun tidur...

Reporter : Lho...koq kenapa setelah tidur?

Adam : Itu dia hebatnya Allah, karena DIA tahu kalau selama saya masih sadar dan melek, maka saya tentu akan terus-terusan menilai siapapun yang Allah kasih berdasarkan kriteria yang saya buat, padahal kan belum tentu kriteria yang saya buat itu yang baik buat saya. Yang tahu yang terbaik buat saya kan Allah sendiri, karena DIA yang ciptakan saya, jadi pasti DIA tahu 100%.

Reporter : Betul juga...

Adam : Saat akhirnya saya capek berusaha cari-cari pasangan berdasarkan kriteria yang saya buat, saya serahkan deh semuanya kepada Allah ...dan itu akhirnya saya bisa tidur. Dan saat saya serahkan semua kebutuhan saya akan penolong kepada Allah, barulah Allah berikan yang terbaik kepada saya pada waktunya yang tepat.

Reporter : Kemudian setelah Allah pertemukan bapak Adam dengan ibu Hawa, apakah rencana Allah atas pernikahan kalian? Untuk teruskan mengusahakan dan memelihara Taman Eden?

Adam : Ooo...bukan, itu terlalu kecil untuk anugerah penolong yang Allah berikan ini. Tugas mengusahakan dan memelihara Taman Eden adalah visi yang Allah berikan kepada saya saat masih single. Setelah kami menikah, Allah tunjukkan visi yang jauh lebih besar daripada itu. Yaitu supaya kami beranak cucu dan bertambah banyak..

Reporter : Ah...apanya yang luar biasa,...itu kan memang sudah natural-nya punya anak...

Adam : Tunggu dulu...saya kan belum selesai, memang kalau kita menikah sekalipun diberkati di gereja dan ikut Bimbingan Pra Nikah dan visinya cuma untuk punya anak dan cucu...gak menarik itu pernikahan. Tapi tujuan Allah supaya kami memenuhi bumi dengan anak cucu kami adalah untuk menaklukkannya dan berkuasa atas semua ciptaanNYA yang lain.

Reporter : wuiiih....keren.....

Adam : Makanya, cepatlah kamu pulang dari tempat ini segera hubungi call centre Bimbingan Pra Nikah di area ibadah kamu saat sudah mulai dipertemukan Allah dengan pasangan hidupmu. Karena mereka akan membantumu untuk menemukan Visi Pernikahan seperti yang kami dapatkan.

Reporter : Siip deh....terima kasih bapak dan ibu Adam, saya pamit dulu....Caoo...!

Dan wawancara imajiner inipun selesai...

Sumber